Blok Sita: Nusantaraku - Selasa, 31 Desember 2013 08:46 WIB
image Syeh Siti Jenar (Foto: SP091257) |
Kisah ini berawal
ketika Ki Kebokenongo yang dikenal juga dengan sebutan Ki Ageng Pengging berniat
memberontak terhadap penguasa Demak, Sultan Bintoro. Berita tentang pemberontakan yang akan dilakukan Ki
Kebokenongo itu sampai juga ke telinga Syeh Siti Jenar. Maka Syeh Siti Jenar pun berangkat ke
Pengging menemui Ki Kebokenongo. Hal tersebut dilakukan Syeh Siti Jenar oleh
karena Ki Kebokenongo mempunyai niat dan tujuan yang sama dengan dirinya, berniat
memberontak terhadap Demak. Selain itu ia memiliki kepercayaan dan pandangan
agama yang sejalan dengan dirinya. Setiba
di desa Pengging Syeh Siti Jenar langsung menjumpai Ki Kebokenongo di
rumahnya. Setelah mengucap salam,
berkatalah Syeh Siti Jenar kepada Ki
Kebokenongo:
“Ki Ageng Kebokenongo, aku mendengar
kabar Ki Ageng berselisih faham tentang kekuasaan dengan Sultan Bintoro dan
hendak memberontak terhadap Demak, benarkah itu?”
Mendengar pertanyaan
yang tak diduga-duga dan bersifat pribadi dari Syeh Siti Jenar, orang yang
belum dikenalnya secara dekat, Ki Kebokenongo sedikit terperanjat. Dengan
senyum dikulum ia berkata kepada Syeh Siti Jenar:
“Wahai
kisanak, siapakah tuan ini, dan dari manakah?”
Mendengar jawaban Ki
Kebokenongo seperti itu Syeh Siti Jenar menjadi heran, sebab meskipun tidak
sering bertemu dengan Ki Kebokenongo, tetapi ia pernah beberapa kali berjumpa
dan berbincang-bincang bertukar pikiran soal kepercayaan, agama dan masalah
keadaan situasi politik di Demak yang dirasakan semakin tidak kondusif lagi. Dengan perasaan sedikit
kecewa yang dipendam, Syeh Siti Jenar berkata kepada Ki Kebokenongo dengan
akrab penuh rasa persahabatan:
“Walah,
walah,walaaah...Ki Ageng ini piye, tho? (KI Ageng ini bagaimana?) Apa sudah
lupa dengan aku, Syeh Siti Jenar seorang hamba sahaya yang mendapat derajat
tinggi secara tiba-tiba, dan orang menyebut aku seorang wali. Berbeda dengan Ki
Ageng yang masih keturunan raja, kaum bangsawan yang memerintah pulau Jawa
ini. Tetapi sekarang hidup susah,
tinggal di desa menjadi petani, bercocok tanam menanam padi dan palawija karena
perlakuan Sultan Bintoro, raja Demak yang tamak itu”.
“Oya, ya, ya... Aku baru
ingat sekarang, maafkan aku Syeh Siti Jenar, sungguh aku tak menduga dan tak
mengenalimu sebab penampilanmu jauh berbeda. Jenggot, kumis, rambutmu agak panjang sekarang,
dan pakaianmu pun semakin hitam gelap segelap dan hitamnya kehidupan sekarang .
Namamu pun semakin terkenal di kalangan
masyarakat maupun di kalangan pemerintahan bahkan di seantero Jawa ini, dan
banyak pula yang menyebutmu dengan sebutan Syeh Lemah Abang. Mari, jangan sungkan-sungkan, Syeh! Anggap
saja ini seperti di padepokanmu. Oya, Sekarang apa lagi yang akan kau bicarakan
sebab aku pun ingin tahu maksud dan tujuanmu datang jauh-jauh kemari meninggalkan
keramaian kota ke desa terpencil, Pengging yang sekarang menjadi tempat tinggalku.
Mengelola sebidang tanah dan sawah, tempat mesu diri memikirkan kehidupan yang semakin aku tak mengerti, penuh kemunafikan,
keserakahan, ketamakan, intrik-intrik, dan ambisi pribadi hanya untuk
mendapatkan kekuasaan dan jabatan seperti yang terjadi di Demak Bintoro ini
sebagaimana yang telah Syeh Siti Jenar katakan.”
“Baiklah Ki Ageng,
sebenarnya aku sudah lama ingin berkunjung ke sini untuk menemuimu membicarakan
tentang keadaan negeri, bertukar pendapat, pikiran dan pandangan terkait dengan
kehidupan keagamaan dan kepercayaan yang kita sebarkan kepada santri-santri
kita dan masyarakat kita di Demak Bintoro ini yang semakin terasa tidak nyaman
karena ajaran-ajaran kita dianggap nyeleneh dan sesat ke luar dari ajaran
Islam. Dan sungguh aku sangat mendukungmu dan akan membantu sekuat tenaga, jiwa
dan raga serta pikiran jika rencana untuk memberontak terhadap Demak itu jadi
kau laksanakan.” Demikian Syeh Siti
Jenar menyampaikan pikiran, pendapat, dan pandangannya serta dukungan sepenuhnya terhadap Ki
Kebokenongo, sambil tak lupa mengelus kumis dan jenggotnya yang hitam agak
keputihan itu.
“Baiklah, Syeh Siti Jenar!
Aku sangat berterima kasih sekali dengan dukunganmu. Akan tetapi sebaiknya
fokus pembicaraan kita belum mengarah ke sana, ke rencana pemberontakan
itu, karena semuanya itu tentu memerluan
persiapan yang matang baik secara fisik, mau pun non fisik, dan yang utamanya lagi
adalah persiapan materi logistiknya karena masyarakat kita, santri-santri kita
masih belum siap untuk melakukan pekerjaan besar seperti itu. Marilah kita membahas yang berkait dengan
keagamaan kita karena terus terang aku butuh ketenangan jiwa, dan itu kutemukan saat aku mesu diri mendalami, mengkaji, merenung diri apa arti
sejatinya sebuah kehidupan.” Demikian kata-kata Ki Kebokenongo menanggapi
pendapat Syeh Siti Jenar.
“Jika
demikian adanya, aku sangat sependapat denganmu, Ki Kebokenongo. Aku sangat
bersyukur jika pendapat dan pemikiran kita masih bisa dipersatukan, dan mari kita
bersatu tekad untuk tetap memegang teguh ajaran kita masing-masing meskipun
taruhannya tubuh kita akan hancur lebur
akan tetapi ajaran-ajaran kita akan terus tetap berkembang sampai di hari
kemudian menuju alam kelanggengan. Sekarang, marilah kita segera menyembelih
ayam berbulu putih seluruhnya dengan nasi putih yang dicampur garam sedikit
sebagai alasnya.”
Selanjutnya Ki
Kebokenongo yang dikenal juga dengan julukan Ki Ageng Pengging menyuruh kepada
istrinya untuk menyembelih seekor ayam
berbulu
putih dan mempersiapkan nasi putih untuk acara selamatan pada malam harinya.
Menjelang senja saat petang hari, masakan disajikan ditutupi dengan kain yang
juga berwarna putih. Syeh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging duduk di serambi
sanggar berbincang membahas tentang agama Hindu, Budha, dan Islam.
Sambil menanti malam tiba, Ki Ageng Pengging
mengawali diskusi dengan membahas tentang ajaran agama Hindu-Budha, sedangkan
Syeh Siti Jenar mengulas agama Islam yang disampaikan dengan cara yang menarik sekali. Kalimat-kalimat yang
disampaikan jelas dan tersetruktur sehingga mudah ditangkap dan dicerna. Ki
Ageng Pengging mendengarkan secara
serius dan penuh perhatian. Menikmati
kata demi kata, kalimat demi kalimat yang disampaikan Syeh Siti Jenar. Dan Pada akhirnya mereka berdua berkesimpulan
bahwa meskipun agama yang mereka anut berdua masing-masing berbeda, akan tetapi
hakikatnya adalah sama bahwa agama itu mengajarkan tentang kebenaran, menuntun
manusia, bagaimana manusia harus bersikap kepada Tuhan, kepada manusia, dan
kepada alam.
Mereka berdua, Ki
Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar
sangat menikmati debat dan diskusi agama itu, sehingga tak terasa malam
pun mulai merayapi desa Pengging. Cuaca
dingin merasuk mengelitik tubuh, kabut tipis menggumul depan serambi rumah Ki Ageng Pengging
menambah cuaca malam itu semakin dingin. Tak lama kemudian mereka berdua masuk ke dalam sanggar lalu masing –masing mengambil
kain putih yang dipakai sebagai penutup hidangan. Syeh Siti Jenar duduk
menghadap ke utara, sedangkan Ki Ageng Pengging menghadap ke selatan, mereka saling
berhadap-hadapan. Mereka berdua akan
saling bertanya dan menjawab secara
makrifat, berargumentasi dengan saling debat menurut pemikiran dan kebenaran
mereka masing-masing.
Bertanyalah Syeh Siti
Jenar kepada Ki Ageng Pengging:
“Ki Ageng Pengging,
sesungguhnya dimanakah Yang Maha Kuasa itu?”
Ki Ageng Pengging diam
saja tak menjawab pertanyaan Syeh Siti Jenar. Sejenak kemudian ia berkata
menjawab pertanyaan Syeh Siti Jenar dengan sebuah pertanyaan pula:
“Syeh
Siti Jenar, menurutku jawaban pertanyanmu ada dalam pertanyaanku ini, ‘dimanakah
pintu kematian itu?’ bisakah
Syeh menjawabnya?!
Menerima pertanyaan Ki
Ageng Pengging, Syeh Siti Jenar diam tak bisa menjawabnya. Lalu mereka berdua
pun saling merenung memikirkan kedua pertanyaan yang Saling mereka ajukan. Tak
beberapa lama kemudian Ki Ageng Pengging berkata kepada Syeh Siti Jenar:
“Syeh Siti Jenar, besok aku
akan menemukan kolong dunia.”
Menjawab Syeh Siti
Jenar dengan cepat:
“Itu
salah besar Ki Ageng!”
Ki Ageng Pengging
berkata:
“Apakah
saya akan masuk dan harus masuk ke alam kesunyian, seperti saat saya belum dilahirkan?”
Jawab Syeh Siti Jenar:
“Itu
pun juga tidak benar, Ki Ageng!”
Ki Ageng Pengging
melanjutkan kata-katanya:
“Apakah
saya akan sejiwa denganyang gaib, ‘Yang mandiri secara pribadi, menyatukan diri
dengan keinginan, berubah menjadi air mani agar dapat melakukan penitisan,
seribu hari makan irisan tipis-tipis sedangkan sedekahnya adalah mayat saya.”
Syeh
Siti Jenar tetap menyangkal semua pendapat Ki Ageng Pengging yang dianggapnya
salah dan tidak tepat dengan berbagai argumentasi yang kuat dan masuk
akal. Akhirnya Ki Ageng Pengging merasa
bahwa tingkat ilmu kemakrifatannya masih di bawah Syeh Siti Jenar dan dia
memohon kepada Syeh Siti Jenar untuk menjadi muridnya memberikan
nasehat-nasehat dan wejangan-wejangan tentang
siapa, dan dimana Yang Maha Kuasa itu? Syeh Siti Jenar kemudian
menjelaskan tentang, ‘Uning, Unong, Unang.’
Ki Ageng
Pengging menyimak semua dengan sungguh-sungguh dan penuh perhatian apa yang
diuraikan Syeh Siti Jenar akan tetapi ia masih belum menerima sepenuhnya ajaran
Syeh Siti Jenar. Saat ia masih merenung memikirkan ajaran Syeh Siti Jenar, ia
terkejut karena Syeh Siti Jenarbertanya kepadanya tentang dimana pintu kematian
itu. Menjawab pertanyaan Syeh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging menunjukkan
telunjuknya ke arah bagian leher. Syeh Siti Jenar dapat memahami dan mengerti
maksudnya. Selanjutnya, Syeh Siti Jenar menyantap daging ayam yang disajikan,
memegang isi perut ayam seraya berkata:
“Apakah
in sarang angin?”
Ki Ageng
Pengging mengibas-ngibaskan kedua tangannya, memadamkan lampu dalam sanggar. Mereka berdua tertawa bersama-sama karena
menyadari bahwa sesungguhnya mereka masih diliputi oleh kegelapan tentang
uning, unong yang menggambarkan kematian itu.
Tiga
hari tiga malam sudah Syeh Siti Jenar berada di sanggar Ki Ageng Pengging
membahas agama Hindu, Budha, dan Islam Ki Kebo Kenongo alias Ki Ageng Pengging
itu. Pada akhirnya mereka menemukan kesepakatan, bahwa di antara kepercayaan
mereka berdua tidak ada bedanya. Syeh Siti Jenar pun mohon diri utuk
kembali ke desanya, Krendhasawa.
(SP091257)
Referensi:
YB.
Prabaswara, Siti Jenar Cikal Bakal Faham
Kejawen, Jakarta, Armedia
Penulis:
Slamet
Priyadi di bumi Pangarakan – Bogor
Rabu, 25
Desember 2013 – 15:10 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar