Jumat, 13 Desember 2013

Kisah Syeh Siti Jenar Dan Ki Ageng Pengging



Blok Sita: Nusantaraku - Selasa, 31 Desember 2013 08:46 WIB
 
image Syeh Siti Jenar (Foto: SP091257)
Kisah ini berawal ketika Ki Kebokenongo yang dikenal juga dengan sebutan Ki Ageng Pengging berniat memberontak terhadap penguasa Demak, Sultan Bintoro. Berita tentang  pemberontakan yang akan dilakukan Ki Kebokenongo itu sampai juga ke telinga Syeh Siti Jenar.  Maka Syeh Siti Jenar pun berangkat ke Pengging  menemui Ki Kebokenongo.  Hal tersebut dilakukan Syeh Siti Jenar oleh karena Ki Kebokenongo mempunyai niat dan tujuan yang sama dengan dirinya, berniat memberontak terhadap Demak. Selain itu ia memiliki kepercayaan dan pandangan agama yang sejalan dengan dirinya.  Setiba di desa Pengging Syeh Siti Jenar langsung menjumpai Ki Kebokenongo di rumahnya.  Setelah mengucap salam, berkatalah Syeh Siti Jenar kepada  Ki Kebokenongo:

     “Ki Ageng Kebokenongo, aku mendengar kabar Ki Ageng berselisih faham tentang kekuasaan dengan Sultan Bintoro dan hendak memberontak terhadap Demak, benarkah itu?”

Mendengar pertanyaan yang tak diduga-duga dan bersifat pribadi dari Syeh Siti Jenar, orang yang belum dikenalnya secara dekat, Ki Kebokenongo sedikit terperanjat. Dengan senyum dikulum ia berkata kepada Syeh Siti Jenar:

     “Wahai kisanak, siapakah tuan ini, dan dari manakah?”  

Mendengar jawaban Ki Kebokenongo seperti itu Syeh Siti Jenar menjadi heran, sebab meskipun tidak sering bertemu dengan Ki Kebokenongo, tetapi ia pernah beberapa kali berjumpa dan berbincang-bincang bertukar pikiran soal kepercayaan, agama dan masalah keadaan situasi politik di Demak yang dirasakan semakin  tidak kondusif lagi. Dengan perasaan sedikit kecewa yang dipendam, Syeh Siti Jenar berkata kepada Ki Kebokenongo dengan akrab  penuh rasa persahabatan:

     “Walah, walah,walaaah...Ki Ageng ini piye, tho? (KI Ageng ini bagaimana?) Apa sudah lupa dengan aku, Syeh Siti Jenar seorang hamba sahaya yang mendapat derajat tinggi secara tiba-tiba, dan orang menyebut aku seorang wali. Berbeda dengan Ki Ageng yang masih keturunan raja, kaum bangsawan yang memerintah pulau Jawa ini.  Tetapi sekarang hidup susah, tinggal di desa menjadi petani, bercocok tanam menanam padi dan palawija karena perlakuan Sultan Bintoro, raja Demak yang tamak itu”.

     “Oya, ya, ya... Aku baru ingat sekarang, maafkan aku Syeh Siti Jenar, sungguh aku tak menduga dan tak mengenalimu sebab penampilanmu jauh berbeda.  Jenggot, kumis, rambutmu agak panjang sekarang, dan pakaianmu pun semakin hitam gelap segelap dan hitamnya kehidupan sekarang . Namamu pun  semakin terkenal di kalangan masyarakat maupun di kalangan pemerintahan bahkan di seantero Jawa ini, dan banyak pula yang menyebutmu dengan sebutan Syeh Lemah Abang.  Mari, jangan sungkan-sungkan,  Syeh!  Anggap saja ini seperti di padepokanmu. Oya, Sekarang apa lagi yang akan kau bicarakan sebab aku pun ingin tahu maksud dan tujuanmu datang jauh-jauh kemari meninggalkan keramaian kota ke desa terpencil, Pengging yang sekarang menjadi tempat tinggalku. Mengelola sebidang tanah dan sawah, tempat mesu diri memikirkan kehidupan yang  semakin aku tak mengerti, penuh kemunafikan, keserakahan, ketamakan, intrik-intrik, dan ambisi pribadi hanya untuk mendapatkan kekuasaan dan jabatan seperti yang terjadi di Demak Bintoro ini sebagaimana yang telah Syeh Siti Jenar katakan.”

     “Baiklah Ki Ageng, sebenarnya aku sudah lama ingin berkunjung ke sini untuk menemuimu membicarakan tentang keadaan negeri, bertukar pendapat, pikiran dan pandangan terkait dengan kehidupan keagamaan dan kepercayaan yang kita sebarkan kepada santri-santri kita dan masyarakat kita di Demak Bintoro ini yang semakin terasa tidak nyaman karena ajaran-ajaran kita dianggap nyeleneh dan sesat ke luar dari ajaran Islam. Dan sungguh aku sangat mendukungmu dan akan membantu sekuat tenaga, jiwa dan raga serta pikiran jika rencana untuk memberontak terhadap Demak itu jadi kau laksanakan.” Demikian  Syeh Siti Jenar menyampaikan pikiran, pendapat, dan pandangannya  serta dukungan sepenuhnya terhadap Ki Kebokenongo, sambil tak lupa mengelus kumis dan jenggotnya yang hitam agak keputihan itu.

     “Baiklah, Syeh Siti Jenar! Aku sangat berterima kasih sekali dengan dukunganmu. Akan tetapi sebaiknya fokus pembicaraan kita belum mengarah ke sana, ke rencana pemberontakan itu,  karena semuanya itu tentu memerluan persiapan yang matang baik secara fisik, mau pun non fisik, dan yang utamanya lagi adalah persiapan materi logistiknya karena masyarakat kita, santri-santri kita masih belum siap untuk melakukan pekerjaan besar seperti itu.  Marilah kita membahas yang berkait dengan keagamaan kita karena terus terang aku butuh ketenangan jiwa, dan  itu kutemukan saat aku mesu diri  mendalami, mengkaji, merenung diri apa arti sejatinya sebuah kehidupan.” Demikian kata-kata Ki Kebokenongo menanggapi pendapat Syeh Siti Jenar.

     “Jika demikian adanya, aku sangat sependapat denganmu, Ki Kebokenongo. Aku sangat bersyukur jika pendapat dan pemikiran kita masih bisa dipersatukan, dan mari kita bersatu tekad untuk tetap memegang teguh ajaran kita masing-masing meskipun taruhannya  tubuh kita akan hancur lebur akan tetapi ajaran-ajaran kita akan terus tetap berkembang sampai di hari kemudian menuju alam kelanggengan. Sekarang, marilah kita segera menyembelih ayam berbulu putih seluruhnya dengan nasi putih yang dicampur garam sedikit sebagai alasnya.”

Selanjutnya Ki Kebokenongo yang dikenal juga dengan julukan Ki Ageng Pengging menyuruh kepada istrinya untuk menyembelih seekor ayam  berbulu putih dan mempersiapkan nasi putih untuk acara selamatan pada malam harinya. Menjelang senja saat petang hari, masakan disajikan ditutupi dengan kain yang juga berwarna putih. Syeh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging duduk di serambi sanggar berbincang membahas tentang agama Hindu, Budha, dan Islam.

Sambil  menanti malam tiba, Ki Ageng Pengging mengawali diskusi dengan membahas tentang ajaran agama Hindu-Budha, sedangkan Syeh Siti Jenar mengulas agama Islam yang disampaikan dengan cara  yang menarik sekali. Kalimat-kalimat yang disampaikan jelas dan tersetruktur sehingga mudah ditangkap dan dicerna. Ki Ageng Pengging mendengarkan  secara serius dan penuh perhatian.  Menikmati kata demi kata, kalimat demi kalimat yang disampaikan Syeh Siti Jenar. Dan  Pada akhirnya mereka berdua berkesimpulan bahwa meskipun agama yang mereka anut berdua masing-masing berbeda, akan tetapi hakikatnya adalah sama bahwa agama itu mengajarkan tentang kebenaran, menuntun manusia, bagaimana manusia harus bersikap kepada Tuhan, kepada manusia, dan kepada alam.

Mereka berdua, Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar  sangat menikmati debat dan diskusi agama itu, sehingga tak terasa malam pun  mulai merayapi desa Pengging. Cuaca dingin merasuk mengelitik tubuh, kabut tipis menggumul  depan serambi rumah Ki Ageng Pengging menambah cuaca malam itu semakin dingin. Tak lama kemudian mereka berdua  masuk ke dalam sanggar lalu masing –masing mengambil kain putih yang dipakai sebagai penutup hidangan. Syeh Siti Jenar duduk menghadap ke utara, sedangkan Ki Ageng Pengging menghadap ke selatan, mereka saling berhadap-hadapan.  Mereka berdua akan saling bertanya dan menjawab  secara makrifat, berargumentasi dengan saling debat menurut pemikiran dan kebenaran mereka masing-masing. 

Bertanyalah Syeh Siti Jenar kepada Ki Ageng Pengging:

     “Ki Ageng Pengging, sesungguhnya dimanakah Yang Maha Kuasa itu?”

Ki Ageng Pengging diam saja tak menjawab pertanyaan Syeh Siti Jenar. Sejenak kemudian ia berkata menjawab pertanyaan Syeh Siti Jenar dengan sebuah  pertanyaan pula:

     “Syeh Siti Jenar, menurutku jawaban pertanyanmu ada dalam pertanyaanku ini, ‘dimanakah pintu kematian itu?’ bisakah Syeh  menjawabnya?!

Menerima pertanyaan Ki Ageng Pengging, Syeh Siti Jenar diam tak bisa menjawabnya. Lalu mereka berdua pun saling merenung memikirkan kedua pertanyaan yang Saling mereka ajukan. Tak beberapa lama kemudian Ki Ageng Pengging berkata kepada Syeh Siti Jenar:    

     “Syeh Siti Jenar, besok aku akan menemukan kolong dunia.”

Menjawab Syeh Siti Jenar dengan cepat:
 
     “Itu salah besar Ki Ageng!”

Ki Ageng Pengging berkata:

     “Apakah saya akan masuk dan harus masuk ke alam kesunyian, seperti saat saya belum    dilahirkan?”

Jawab Syeh Siti Jenar:

     “Itu pun juga tidak benar, Ki Ageng!”

Ki Ageng Pengging melanjutkan kata-katanya:

    “Apakah saya akan sejiwa denganyang gaib, ‘Yang mandiri secara pribadi, menyatukan diri dengan keinginan, berubah menjadi air mani agar dapat melakukan penitisan, seribu hari makan irisan tipis-tipis sedangkan sedekahnya adalah mayat saya.”

Syeh Siti Jenar tetap menyangkal semua pendapat Ki Ageng Pengging yang dianggapnya salah dan tidak tepat dengan berbagai argumentasi yang kuat dan masuk akal.  Akhirnya Ki Ageng Pengging merasa bahwa tingkat ilmu kemakrifatannya masih di bawah Syeh Siti Jenar dan dia memohon kepada Syeh Siti Jenar untuk menjadi muridnya memberikan nasehat-nasehat dan wejangan-wejangan tentang  siapa, dan dimana Yang Maha Kuasa itu? Syeh Siti Jenar kemudian menjelaskan tentang, ‘Uning, Unong, Unang.’

Ki Ageng Pengging menyimak semua dengan sungguh-sungguh dan penuh perhatian apa yang diuraikan Syeh Siti Jenar akan tetapi ia masih belum menerima sepenuhnya ajaran Syeh Siti Jenar. Saat ia masih merenung memikirkan ajaran Syeh Siti Jenar, ia terkejut karena Syeh Siti Jenarbertanya kepadanya tentang dimana pintu kematian itu. Menjawab pertanyaan Syeh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging menunjukkan telunjuknya ke arah bagian leher. Syeh Siti Jenar dapat memahami dan mengerti maksudnya. Selanjutnya, Syeh Siti Jenar menyantap daging ayam yang disajikan, memegang isi perut ayam seraya  berkata:

     “Apakah in sarang angin?”

Ki Ageng Pengging mengibas-ngibaskan kedua tangannya, memadamkan lampu dalam sanggar.  Mereka berdua tertawa bersama-sama karena menyadari bahwa sesungguhnya mereka masih diliputi oleh kegelapan tentang uning, unong yang menggambarkan kematian itu.
Tiga hari tiga malam sudah Syeh Siti Jenar berada di sanggar Ki Ageng Pengging membahas agama Hindu, Budha, dan Islam Ki Kebo Kenongo alias Ki Ageng Pengging itu. Pada akhirnya mereka menemukan kesepakatan, bahwa di antara kepercayaan mereka berdua tidak ada bedanya. Syeh Siti Jenar pun mohon diri utuk kembali  ke desanya, Krendhasawa. (SP091257)

Referensi:
YB. Prabaswara, Siti Jenar Cikal Bakal Faham Kejawen, Jakarta, Armedia  

Penulis:
Slamet Priyadi di bumi Pangarakan – Bogor
Rabu, 25 Desember 2013 – 15:10 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar