Sabtu, 24 Oktober 2015

Ilmu Siasat Perang Dalam Kakawin Bharata-Yudha 1 Oleh Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto

Sri Kresna Ahli Siasat Perang
ILMU SIASAT PERANG DALAM KAKAWIN BHARATA-YUDHA 1
Oleh : Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto
Pada waktu bangsa Indonesia mengadakan perlawanan terhadap penjajah Belanda dalam perang kolonial, seperti pada waktu perlawanan Sultan Hasanuddin dari Makasar, Pangeran Mangkubumi (kelak bergelar Sultan Hamengku Buwana I), Perang Dipanegara, Perang Padri, Perang Aceh dan lain-lainnya melawan Belanda, siasat perang bangsa Indonesia telah mengejutkan pihak lawan, karena tidak disangka oleh pihak penjajahBelanda, bahwa bangsa Indonesia memiliki akal yang cerdas untuk menghadapi seranga musuh dalam pertempuran kecil, khususnya dalam perang gerilya 1), seperti  yang telah diuraikan oleh Jendral A.H. Nasution. dijelaskan nasution.  A.H.  NASUTION.  Sekalipun perang gerilya merupakan perang yang Hebat dan memeras otak dari pihak yang mengadakan gerilya, perang ini secara sendiri belum dapat memberi pukulan terakhir kepada musuh, karena kemenangan terakhir hanya bisa tercapai dengan tentara yang teratur dengan serangan-serangan yang berbentuk frontal dan perang kecil.
Karena perang melawan musuh itu dalam sejarah tidak hanya merupakan perang fisik-militer, akan tetapi juga merupakan perang diplomasi, politik, psychologis dan sosial-ekonomis, tibullah pertanyaan darimana gerangan bangsa Indonesia itu mempelajari siasat perang, apabila mereka itu dalam sejarah mengadakan perang frontal dan gerilya terhadap angkatan perang Belanda.  Dengan perkataan lain, disamping adanya faktor semangat menyala-nyala untuk mempertahankan setiap jengkal tanah dari serangan luar dari pihak manapun juga, pastilah bangsa Indonesia itu memiliki kitab-kitab mengenai siasat perang yang bersifat khusus atau terselip dalam beberapa kitab kesusasteraan.
Apabila dikatakan, bahwa kitab kesusasteraan itu menjadi dasar pengetahuan siasat perang, hal itu memang benar, karena pada zaman kuno belum ada lembaga pendidikan seperti pada waktu sekarang, segala macam pendidikan itu diambil dari isi kitab kesusasteraan yang diberi penafsiran sesuai dengan il,u yang diajarkan, seperti moralitas, ilmu negara, ilmu hukum, ilmu siasat perang dan sebagainya.  Sudah barang tentu, karena ajaran-ajaran tersebut tidak disusun secara sistematis, dibawah pimpinan seorang guru otak setiap pelajar pada waktu yang lampau dilatih berdasarkan atas kitab-kitab kesusasteraan mengenai sesuatu mata pelajaran dan mencari kesimpulan sendiri dan apa yang diajarkan.
Dari kesusasteraan Indonesia kuno ada beberapa bukti, bahwa Indonesia itu telah mengenal siasat perang.  Suatu pengertian siasat perang yang penting diketemukan dalam kitab kakawin Arjuna-wiwaha dari abad 11 dan kitab Nitisastra dari abad 14 dan sekitarnya, keduanya dalam bahasa Jawa kuno yang masing-masing memuat istilah sama-bheda-ddanndda .  pengertian siasat perang  dalam kesusateraan Jawa kuno itu diambil dari kesusateraan India, ialah dari kitab Arthasastra ciptaan Kauttilya dalam bahasa sansekerta, ialah kitab yang mengajarkan tentang pengetahuan politik, termasuk politik menghancurkan musuh.  Kitab ini rupanya menjadi kitab pegangan dalam lapangan ilmu politik yang dikerjakan oleh keluarga raja-raja Gupta yang pernah mempersatukan sebagian besar India.
Menurut ajaran sama-bedha-ddanndda dirumuskan, bahwa setiap kepala negara yang ingin membinasakan lawannya wajib mencari sekutu (sama) di antara negara-negara yang berhubungan baik.  Telah diperhitungkan, bahwa pada waktu perang dengan negara-negara lain, negara-negara yang telah terikat oleh ‘sama’ itu sedikitnya bersikap  netral, bahkan dapat diharapkan adanya sokongan dan bantuan dari negara-negara tersebur.  Siasat kedua dari ‘sama-bedha-ddanndda’, ialah siasat ‘bheda’ yang berarti memecah belah dan memerintah, yang kurang lebih sama dengan pengertian divide et impera.  Sebab apabila tujuan mengadu domba musuh itu telah tercapai, sampailah waktunya untuk mempraktekkan ‘ddanndda’ atau pukulan, ialah pukulan terakhir kepada musuh yang telah lemah itu.
Karena pengertian sama-bheda-ddanndda disebutkan dalam kitab kakawin Arjunna-wiwaha dan Nitisastra, dijelaskan bahwa siasat perang  sama-bheda-ddanndda itu dikenal dan dipelajari di Indonesia.  Dalam hubungan ini dapat dikatakan, bahwa pengetahuan penggunaan senjata perang itu disebut ‘dhanurweda’ (weda berarti pengetahuan, sedangkan dhanu berarti panah) dan merupakan sebagian dari pengetahuan perang.  Jalan untuk mencapai kemenangan dalam perang dapat diperoleh dengan mempelajari pengetehaun yang dalam kesusateraan Jawa baru disebut pengetahuan ‘jaya-kawijayan’, ialah pengetahuan untuk mendapat kemenangan perang.
Pengetahuan tentang perang dalam bentuk yang agak kongkrit diketemukan dalam beberapa kitab, di antaranya dalam kakawin Bharata-Yudda yang menyebutkan beberapa bentuk wyuha atau susunan tentara, kitab Nitisastra yang membicarakan cara untuk memilih seorang panglima, dan kitab Nagarakrertagama dari zaman Majapahit yang menguraikan bagaimana raja Hayam Wuruk itu mempertontonkan kepandaian tentaranya yang mendemonstrasikan segala macam ulah perang.  Dari berita-berita yang diketemukan dalam beberapa kitab kesusasteraan Jawa kuno dapat ditentukan dengan pasti, bahwa ilmu siasat perang itu telah dikenal, sedikitnya di daerah Jawa, Bali dan Lombok.
Sebaliknya di daerah lainnya di Indonesia juga diketahui bahwa ada beberapa kitab yang menunjukkan adanya beberapa pengertian, bahwa siasat perang itu telah dipelajari di Indonesia.  Di dalam kitab sejarah melayu disebutkan, bahwa pada menjelang malam direbutnya kota Malaka yang diserbu oleh angkatan perang Portugis sejumlah banyak perwira muda yang menginginkan supaya kitab Hikayat Mohammad Hanafiah itu dibacakan dengan tujuan untuk memberi semangat kepada mereka karena di dalam kitab Hikayat Mohammad Hanafiah itu banyak disebutkan tentang siasat perang.  Kitab lain dalam
kesusasteraan Indonesia kuno yang juga memuat siasat perang, ialah kitab Hikayat Amir Hamzah.  Seperti diketahui, Amir Hamzah adalah paman Nabi Muhammad s.a.w. dan dalam usahanya ikut meluaskan agama Islam,  Amir Hamzah berperang dengan raja-raja di tanah Arab dan negara lainnya.  Seperti telah diketahui, cerita Hikayat Amir Hamzah yang tumbuh di Indonesia itu melalui kesusasteraan Persia.
Hikayat Amir Hamzah dalam bahasa Melayu itu sedemikian populernya, sehingga melalui Hikayat Amir Hamzah ini disadur suatu cerita baru dalam bahasa Jawa baru pada zaman Mataram Kartasura (kira-kira tahun 1700) dan  terkenal sebagai Serat Menak (Kartasura).  Karena pada waktu  meluasnya agama Islam itu cerita-cerita dari zaman pra-Islam itu agak terdesak, sebagai gantinya tumbuh cerita-cerita Islam yang berpangkal kepada kitab Menak, sehingga R.Ng. Jasadipura ikut menulis menulis cerita Menak dalam bahasa Jawa Baru.  Dengan ini mulai terkenallah tokoh Wong Agung Menak Jayengrana, ialah sebutan Amir Hamzah dalam bahasa Jawa dan pahlawan-pahlawan lainnya seperti Umarmaya, Lamdahur, Hirman, Kelan dan lain-lainnya.
Disebabkan karena menyadur kakawin Bharata-Yudha menjadi Serat Braratayuda Jarwa, R. Ng. Jasadipura telah mengenal sejumlah banyak nama susunan tentara yang dipakai oleh keluarga Pandawa dan Kurawa, cerita Menak dalam bahasa Jawa baru itu ditambah dengan bagian-bagian yang berbentuk serangan secara frontal dan tahu bagaimana caranya menjebak musuh yang menurut cerita itu dilancarkan oleh pasukan-pasukan yang bersembunyi dan siasat ini sangat populer di antara rakyat biasa dengan istilah ‘baris pendem’.  Contoh-contoh lain dapat diambil dari ‘Babad Ganti’ yang mengisahkan perjuangan Mangkubumi yang dikemudian hari bergelar Hamenku Buwana I  melawan Belanda.  Kecuali disebutkan dalam Babad Ganti sendiri, bahwa Pangeran Mangku Bumi itu seorang ahli  siasat perang, kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang Belanda juga mengakui, bahwa Pangeran Mangku Bumi itu sungguh-sungguh seorang “strateeg”, seperti yang ditunjukkan dalam pertempuran yang terjadi di tepi sungai Bogowonto.
Contoh-contoh tentang keahlian bangsa Indonesia untuk berperang dapat ditambahkan lagi dengan mengambil tokoh ‘Pangeran Diponegoro’ yang menggoncangkan kedudukan Pemerintah kolonial Belanda.  Apabila pada waktu dikejar oleh tentara Belanda Pangeran diponegoro itu dapat menyelamatkan diri dengan jalan menceburkan diri ke dalam sungai Progo yang sedang tinggi airnya, tetapi dapat memilih bagian yang dangkal, sedangkan tentara Belanda masuk ke dalam sungai ini di bagian-bagian yang dalam, sehingga terpaksa berenang dengan kuda-kudanya sehingga tidak dapat mengejar  kuda yang dinaiki oleh Pangeran Diponegoro, ini disebabkan karena Pangeran Diponegoro mengenal setiap jengkal tanah yang dipergunakan sebagai ajang bertempur melawan Belanda.  Kemenangan ini juga disebabkan karena pasukan-pasukan Pangeran Diponegoro disuruh menyusun barisan pendem dan dapat menghalau serangan tentara Belanda yang mengejar Pangeran Diponegoro.
Bahwa bangsa Indonesia telah mengenal siasat perang yang juga dimiliki oleh negara-negara besar hal ini telah telah dibuktikan ketika  Sultan Agung bersama tentaranya menyerang benteng kota mengepung Batavia tahun 1628 dengan menggali parit-parit untuk mendekati obyek yang akan direbut dan hal tersebut tentunya telah mengejutkan para serdadu kompeni Belanda.  Berita lainnya yang menunjukkan, bahwa bangsa Indonesia pada abad 17 telah mempunyai organisasi ketentaraan yang disusun rapih dengan tujuan memudahkan pelaksanaan siasat perang disebutkan oleh Dr. De Helen, seorang utusan Belanda yang mengunjungi Karta, ibukota Mataram pada zaman Sultan Agung.  Dikatakan, bahwa apabila ‘gong’ yang ada di empat penjuru di kota ‘Karta’ dipukul, dalam waktu setengah hari dapat dikumpulkan sebanyak 200.000 orang.
Dari berita-berita itu cukuplah terbukti, bahwa rakyat Indonesia pada waktu lampau memang telah mengenal ilmu siasat perang.  Hanya saja tidak diketemukan kitab-kitan yang menguraikan ilmu ini secara metodis dan sistematis.  Seperti telah dikatakan di atas, seandainya dapat diketemukan berita-beritanya, berita-berita itu ada terselip dalam kitab kesusasteraan Indonesia kuno.  Salah satu buah kesusasteraan Indonesia kuno yang sedikit agak metodis membicarakan siasat perang frontal yang disebut ‘wyuha’, ialah kitab ‘Kakawin Bharata-Yuddha’.
Menurut kesusteraan India kuno, kitab ‘Arthasastra karya Kauttilya’ menyebutkan beberapa macam wyuha, antara lain ialah :
1.       Ddanddda wyuha, susunan tentara seperti bentuk alat pemukul,
2.       Bhoga wyuha, susunan tentara seperti ular,
3.       Mannddala wyuha, susunan tentara seperti bentuk lingkaran,
4.       Asamhata wyuha, susunan tentara yang bagian-bagiannya terpisah-pisah,
5.       Pradara wyuha, susunan tentara penggempur musuh,
6.       Ddrddhaka wyuha, susunan tentara dengan sayap dan lambung tertarik ke belakang,
7.       Asahya wyuha, susunan tentara yang tak bisa ditembus,
8.       Garudda wyuha, susunan tentara seperti burung garuda,
9.       Sanjaya wyuha, susunan tentara untuk mencapai kemenangan dan berbentuk busur,
10.   Wijaya wyuha, susunan tentara menyerupai busur dengan bagian busur depan yang menjorok ke muka,
11.   Sthulakarna wyuha, bentuk susunan tentara yang menyerupai telinga besar (karna sthula),
12.   Wiҫalawijaya wyǔha, bentuk susunan tentara yang disebut kemenangan mutlak; susunannya sama dengan sthulakarnna, hanya saja bagian depan disusun dua kali lebih kuat dari sthulakarnna wyuha’
13.   Camǔmukha  wyǔha, bentuk susunan tentara dengan bentuk 2 sayap yang saling berhadapan muka dengan musuh (dalam bahasa sansekerta, camǔ berarti satu kesatuan perang),
14.   Jhashãsya wyǔha, bentuk susunan tentara seperti  camǔmuka, hanya saja sayapnya ditarik ke belakang (jhashãsya berarti muka ikan),
15.   Sǔimukha wyǔha, bentuk susunan tentara yang berujung (muka (mukha) seperti jarum (sǔci)
16.   walaya wyǔha, susunan tentara seperti  Sǔimukha wyǔha, hanya ajabarisannya terdiri 2 lapisan,
17.   ajaya wyǔha, susunan tentara yang tidak terkalahkan,
18.   sarpasari wyǔha, susunan tentara seperti ular (sarpa) yang bergerak (sari),)
19.   gomǔtrika wyǔha, susunan tentara yang berbentuk arah terbuangnya air kencing (mǔtrika) sapi (go),
20.   syandana wyǔha, susunan tentara yang menyerupai kereta (syandana),
21.   godha wyǔha, susunan tentara yang menyerupai buaya (godha),
22.    wâripatantaka wyǔha, susunan tentara sama seperti syandana wyǔha, hanya semua pasukan terdiri dari barisan gajah, kuda dan kereta perang,
23.   Sarwatomukha wyǔha, susunan tentara yang berbentuk lingkaran, sehingga pengertian sayap, lambung dan bagian depan tidak ada lagi; sarwato dari kata sarwata yang berarti seluruh, sedangkan mukha berarti arah,
24.   Sarwatabhadra wyǔha, susunan tentara yang serba (sarwata) menguntungkan (bhadra),
25.   Ashttanika wyǔha, susunan tentara yang terdiri dari 8 divisi ( assatt atau assashttanika berarti delapan)
26.   Wajra wyǔha, susunan tentara menyerupai petir (wajra) dan terdiri dari 5 divisi yang disusun terpisah-pisah satu dari yang lain,
27.   Udyâ wyǔha, susunan tentara menyerupai taman (udyânaka) yang juga disebut kâkapadi wyǔha, artinya susunan yang berbentuk kaki (padi berarti berkaki) burung kaka-tua (kâka) dengan ketentuan bahwa susunan tentara ini terdiri 4 divisi,
28.   Ardhacandrika wyǔha, susunan tentara yang berbentuk bulan sabit, juga disebut ardhacandra wyǔha ; ditentukan bahwa susunan tentara ini berdasarkan atas 3 divisi,
29.   Karkâttakaҫrênggi wyǔha, susunan tentara yang berbentukkepala (ҫrêngga) udang (karkâttaka),
30.   Artisa wyǔha, susunan tentara yang serba menang (arista) dengan susunan garis depan yang ditempati oleh barisan kereta perang, barisan gajah, sedang barisan kuda menempati garis belakang,
31.   Acala wyǔha, susunan tentara yang tidak bergerak, ialah suatu susunan tentara dengan menempatkan barisan infanteri, barisan gajah, barisan kuda dan barisan kereta perang satu di belakang yang lain,
32.   Ҫyena wyǔha, susunan tentara sama dengan garudda eyǔha,
33.   Apratihata wyǔha, susunan tentara yang tidak dapat dilawan (pratihata berarti melawan sedangkan ‘a’ berarti tidak) dengan ketentuan bahwa barisan gajah, barisan kuda, barisan kereta perang dan barisan infanteri ditempatkan satu di belakang yang lain,
34.   Capa wyǔha, susunan tentara yang berbentuk busur
35.   Madhya capa wyǔha, susunan tentara yang berbentuk busur dengan inti kekuatan dibagian tengah.
Sebaliknya, di dalam kitab Kamandaka, salah satu kitab dari kesusateraan Jawa kuno disebutkan 8 macam wyǔha, ialah :
1.       Garudda wyǔha (atau byuha), susunan tentara yang berbentuk garuda,
2.       Singha wyǔha, susunan tentara yang berbentuk singa,
3.       Makara wyǔha,  susunan tentara yang berbentuk makara (udang)
4.       Cakra wyǔha, susunan tentara yang berbentuk cakram,
5.       Padma wyǔha, susunan tentara yang berbentuk bunga seroja,
6.       Wukir sagara wyǔha, susunan tentara yang berbentuk bukit dan samudera,
7.       Ardhanacandra  wyǔha, susunan tentara yang berbentuk bulan sabit,
8.       Wajratikshnna  wyǔha, susunan tentara yang berbentuk wajra atau petir yang tajam.
Di dalam kakawin Bhârata-Yudha disebutkan 10 macam wyǔha, ialah :
1.       Wukir sagara wyǔha (terdapat dalam transkripsi kakawin bharata-Yudha Pupuh X dan XL  2)
2.       Wajratikshnna (Pupuh X  11)
3.       Kagapati wyǔha (Pupuh XII  6)
4.       Gajendramatta atau gajamatta wyǔha (Pupuh XIII  13)
5.       Cakra wyǔha (Pupuh XIII 22 dan XV  21)
6.       Makara  wyǔha ( XIII  24 dan XXVII 2 )
7.       Sǔcimukha wyǔha dalam Pupuh XV  21)
8.       Padma  wyǔha  (Dalam Pupuh XV 22)
9.       Ardhanacandra wyǔha  (Dalam Pupuh XXVI  5)
10.   Kânanja wyǔha  (Dalam Pupuh XL  2)
Ketika perang besar antara keluarga Kurawa dan Padawa dimulai, tentara Kurawa mengambil susunan tentara wukir sagara.  Raja-raja takluk, kerajaan Hastina yang berkendaraan gajah dan kuda merupakan karang laut yang serba kokoh dan kuat, sedangkan serangan prajurit yang bergelombang itu merupakan gelombang samudera yang tiadak ada henti-hentinya.  Susunan tentara ini memerlukan memerlukan sejumlah prajurit yang banyak, bertempur dalam massa yang besar dan memiliki dinamika dan daya tempur yang tinggi, hal tersebut sebagaimana diceritakan dalam Pupuh X  17, yang menyatakan bahwa satu kereta perang diperkuat oleh 10 ekor gajah, sedangkan masing-masing gajah diperkuat oleh 10 ekor kuda dan seekor kuda diperkuat oleh 10 orang prajurit.  Massa yang banyak dengan kuda dan gajah itu menjadi bukit yang kokoh.  
Sebaliknya dalam permulaan perang ini menurut Pupuh X, 11 keluarga Pandawa mengambil susunan tentara yang disebut ‘wajratikshnna wyǔha’, artinya petir yang tajam.  Bima, Arjuna dan Srikandi merupakan ujung petir yang tajam, sedangkan putera-putera Wirata, Uttara dan Sangka, bersama-sama Setyaki serta Drestajumena memimpin pertahanan di belakang.  Yudhistira bersama-sama dengan raja lainnya, — tentunya yang dimaksud ialah Kresna, Nakula dan Sadewa bersama-sama dengan Sweta —, dalam Pupuh X  11 itu dikatakan ada di barisan tengah.  Susunan tentara yang disebutkan dalam kakawin Bharata-Yudha ini berbeda dengan apa yang disebutkan dalam serat Bratayuda Jaewa yang dipergunakan oleh J. Kats sebagai bahan penulisan bukunya.  Bersambung !

Sumber  :
Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto, “Kakawin Bharata-Yuddha”
Penerbit – Bhratara – Jakarta 1968

Blog Sita: "SASTRA NUSANTARA": SIASAT PERANG DALAM KAKAWIN BHARATA-YUDHA 1 Oleh ...: Sri Kresna Ahli Siasat Perang ILMU SIASAT PERANG DALAM KAKAWIN BHARATA-YUDHA 1 Oleh : Prof. Dr. R.M. Sucipto Wirjosuparto ...

Sabtu, 26 September 2015

“PENCAK SEBAGAI SUMBER DAN SAUDARA KANDUNG TARI” By Prof. Dr. Edi Sedyawati



Prof. Dr. Edi Sedyawati
“PENCAK SEBAGAI SUMBER DAN SAUDARA KANDUNG TARI”
Oleh : Prof. Dr. Edi Sedyawati

Minggu, 27 September 2015 - Dalam kebudayaan-kebudayaan daerah tertentu di Indonesia, pengertian tari seperti tak dapat dipisahkan dari pencak, karena keduanya lahir dari satu lingkungan penggiat.  Sekurang-kurangnya ada empat kebudayaan daerah yang memperlihatkan gejala ini, yaitu Minangkabau, Sunda, Melayu dan Batak.
Dalam kebudayaan Minangkabau, kegiatan pencak maupun tari dilakukan oleh suatu kelompok warga komuniti yang disebut orang mudo.  Mereka ini terdiri dari kaum lelaki yang bukan ninik mamak.  Mereka merupakan nerupakan suatu golongan masyarakat tersendiri.  Kegiatan pencak maupun tari dan juga bentuk-bentuk kesenian lain, mereka lakukan di sasaran, yaitu suatu tempat terbuka yang tanahnya sudah diratakan.  Setiap desa, atau di Minang disebut nagari, mempunyai sebuah sasara.  Baik sasarannya maupun isi perbendaharaan pencak-silat dan keseniannya adalah hak milik nagari yang bersangkutan.  Dengan kata lain, perbendaharaan tersebut merupakan atribut nagari.  Dengan demikian, bertolak dari struktur kebudayaan ini sebenarnya tak mungkin disebutkan manakah gaya tari atau gaya pencak Minang itu secara umum.  Yang jelas dapat dilihat adalah gaya dari nagari-nagari.  Namun struktur budaya dasar tersebut tidak melintasi perkembangan masyarakat masa kini, sehingga citra mengenai uniknya perbendaharaan nagari-nagari ini di sana- sini telah mengabur.  Pelembagaan festival-festival, sekolah-sekolah dan berbagai keperluan nasional lain telah merentang jaring antara nagari-nagari tersebut.  beberapa nagari mempunyai suatu kekuatan tertentu dalam mewujudkan dan mengembangkan repertoire khasnya, sehingga miliknya tersebut sering ‘diangkat’menjadi milik Minang pada umumnya.  Proses pembentukan citra Minang yang umum ini dipercepat oleh hadirnya Akademi Seni Karawitan Indonesia dan Sekolah Menengah Karawitan Indonesia di Padang Panjang yang berfungsi sebagai katalisator.
Dalam distem budaya Minang semula tidak dikenal penampilan wanita di dalam tari.  Dengan kata lain wanita tak dibenarkan tampil di depan umum.  Hanya dalam sastra Minang sering diberikan deskripsi mengenai gadis ideal, yang kalau berjalan pado pai suruik nan labih ( = daripada maju, mundurnya yang lebih ) dengan kwalitas langkah yang dilukiskan sebagai samuik tapijak indak mati, alu rataruang patah tigo ( = semut terpijak tidak mati, alu teratung patah tiga ).  Jadi gerak-gerik wanita ideal ini adalah lemah lembuttampaknya, tetapi besar kekuatannya.  Dalam kenyataan, repertore tari di nagari-nagari tidak ada yang sifatnya lemah gemulai dan melenggang lenggok, melainkan kebanyakan bersifat keras dan cekatan.  Yang dapat dilihat sebagai kekecualian adalah jenis tari Saputangan di daerah pasisir (daerah pantai) yang memperlihatkan pengaruh Portugis/Spanyol pada ritme musiknya.  Sifat jantan tarian Minang itu mungkin disebabkan, pertama oleh karena semua ditarikan oleh laki-laki (juga peran-peran wanita dalam teater Minang yang bernama randai) dan kedua oleh karena tari yang menjadi milik nagari-nagari itu lahir bersama pencak dari satu kandungan.
Informasi dari daerah Paninan misalnya, menyatakan bahwa tari, pencak dan silattak dapat dipisahkan satu sama lain, karena memiliki perbendaharaan gerak yang sama.  Yang membedakan ketiganya hanyalah penggunaannya.  Silat adalah jika gerak-gerak itu digunakan dalam pertarungan dan bela diri sesungguhnya; pencak adalah jika gerak-gerak itu digunakan dalam berlatih kelenturan, kecepatan, kekuatan dan lain-lain agar siap untuk digunakan bersilat; sedang tari adalah jika gerak-gerak itu digunakan untuk mendapatkan kenikmatan dan keindahan bentuknya, disertai tingkahan ritme oleh gendang.  Jadi kita lihat pula di sini, bahwa kecuali tari tak dapat dipisahkan dari pencak, ia juga tak dapat dipisahkan dari gendang.
Beberapa nama tarian milik nagari-nagari yang dapat disebutkan adalah misalnya Alang Suntiang dari Padang Laweh, Adok dari Santiang Bakar, Alau-ambek dari Sungai Sarik, Bénten dari Painan, serta jenis-jenis perbendaharaan seperti Séwah, tari Perang, tari Tangan, tari Kain, tari-tarian yang bertema Elang, tari Gelombang dan lain-lain yang terdapat dalam berbagai wujud di berbagai nagari.  Semua tari-tarian asal nagari ini berdaar pencak.  Jenis tari yang lemah gemulai, khususnya tarian wanita seperti misalnya tari Pyung dan versi gemulai dari tari Lilin, masih harus diteliti asal usulnya.  Petunjuk-petunjuk tertentu mengisyaratkan bahwa tari-tari Minang yang gemulai ini lahirnya di kota-kota khususnya di lembaga-lembaga non-adat seperti sekolah-sekolah perkumpulan-perkumpulan kesenian.  Seorang tokoh pembaharu tari Minang, yaitu Huriyah Adam almarhu, ingin mengembalikan citra tari Minang ke dasar-dasar pencak.  Ia kembali berpaling ke nagari-nagari untuk mencari sumbernya.
Di atas telah disebutkan bahwa perbendaharaan dasar dari tari, pencak dan silat di Minang adalah sama.  Yang tetap itu adalah aspek bentuk daripadanya, sedang aspek dinamik atau kwalitas gerak pada umumnya mengalami perubahan jika terjadi modulasi antara ketiga modus tersebut.  sebuah geraka pada pencak bisa menjadi keras, tajam dan cepat apabila digunakan dalam silat dan sebaliknya bisa menjadi melemah dan penentuan arahnya tidak terlalu tajam apabila digunakan dalam tari.
Hubungan yang erat diperlihatkan pula oleh tari dan pencak dalam kebudayaan Sunda, meskipun tampak juga bahwa kedua jenis kegiatan itu menbentuk dua lingkaran yang terpisah.  Dalam lingkaran pencak terdapat penyajian gendang pencak yang dalam hal ini merupakan demonstrasi gerak-gerak pencak dengan iringan gendang.  Bedanyanya dengan keadaan Minang adalah bahwa di sini tak terdapat modulasi kwalitas gerak; jadi yang disajikan dalam gendang pencak ini adalah sepenuhnya gerak-gerak pencak dan para penghayatnya memang tak pernah menyebutnya tari.
Gerak-gerak pencak seperti yang ditampilkan dalam gendang pencak itu sering pula sering pula disajikan dalam kombinasi dengan suatu penyajian kesenian, misalnya berbagai jenis penyajian teater, atau tari seperti Ketuk Tilu.  Dalam penampilan yang dipadukan dengan kesenian ini biasanya gerak-gerak pencaknya menjadi sedikit melunak.  Dalam pertunjukan-pertunjukan rakyat di Pasunfan, apabila tampil seorang pelaku pria menari, boleh dipastikan bahwa gerak pencaklah yang dipakainya sebagai dasar.  Adapun penari wanita memperlihatkan gaya gerak yang berbeda: hampir tak pernah mengambil sikap tubuh sléwah (Jawa = menghadapkan torso dan tungkai ke arah yang berlawanan), yaitu sikap yang justru menandai daar gerak pencak.
Adapun dalam tari-tarian Sunda urban, berawal dari ibing keurseus yang dibentuk atas dasar topeng Cirebon yangural itu, kesamaan sifat dengan gerak-gerak pencak sudah hampir tak terlihat lagi.  Ciri bentuk yang memperlihatkan kedekatan dengan gerak pencak adalah sikap-sikap lengan dengan menyilangkan pergelangan tangan di depan dada.  Kenyataan ini menyajikan tanda tanya tersendiri: adakah ciri tersebut merupakan sisa-sisa asal kepencakan dari tari Sunda urban tersebut, ataukah itu merupakan hasil saling pengaruh antara dua sumber oleh gerak, yaitu pencak di satu pihak dan gaya tari di pihak lain.
Dalam tari Melayu, gaya gerak pencak dipakai untuk penari pria.  Namun dalam hal ini gaya pencak ini tidaklah menandai keseluruhan tari pria, melainkan hanya digunakan sebagai penyeling saja.  geraknya tidak berkwalitas keras dan tajam-arah, melainkan halus dan berarah bebas.
Dalam kesenian Batak dikenal tortor dihat artinya tari pencak.   Dihat  sebagai kegiatan tersendiri yang lepas dari kesenian, rupanya sudah lama tak hidup lagi di tanah Batak.
Gaya gerak pencak yang bercirikan sikap dasar sléwah itu dalam banyak tarian Batak dari berbagai daerah menandai tari prianya.  Hanya saja tidak dalam semua tarian penari pria bergaya pencak.  Dalam hal tari-tari upacara adat, misalnya ketika menari bersama kelompok hula-hula dan boru,*) maupun dalam jenis tari muda-mudi, baik tari wanita maupun prianya sama sekali tidak menunjukkan  ciri-ciri gerak pencak.  Bahkan sebaliknya, sikap tubuh sangat frontal, dengan torso dengan kedua tungkaiyang keseluruhannya membentuk kesatuan sikap yang hampir dapat dikatakan kaku, sedang lengan dan tangan bergerak minimal dalam arah-arah simetris.  Gaya gerak pencak hanya diperlihatkan oleh penari-penari pria pada beberapa tarian tertentu.  Yang paling jelas adalah pada tortor dihat tersebut di atas.  Dalam cara ungkapan yang lebih lunak ini diperlihatkan juga oleh tarian burung enggang dalam tari huda-huda dari Simalungun.  Dalam tari para datu (medium yang dulu berfungsi sebagai kepala adat), apakah itu pada waktu menari dengan tunggal penaluan ( = tongkat keramat yang melambangkan kosmos) ataukah sedang menggoreskan rajah di atas tanah, sering disertai gerak-gerak keras dalam sikap-sikap pencak.  Tarian para datu ini pada umumnya (dulu) tidak terikat oleh koreografi tertentu, melainkan bersifat dadakan, atau dengan kata lain mengikuti petunjuk dari alam gaib.  Maka patut dipertanyakan, apa sebab sikap pencak sering muncul pada tarian datu?  Apakah dihat merupakan perlengkapan wajib dari seorang datu?  Ataukah dihat pernah sangat populer dalam masyarakat Batak pada umumnya, sehingga kesan kinestetisnya masuk secara tak disadari ke dalam setiap diri setiap warga suku Batak yang memilikinya, sedemikian dalam masuknya sehingga ia bisa muncul sewaktu seseorang berada di luar kesadarannya?
Mungkin masih ada daerah-daerah lain di Indonesia yang memperlihatkan hubungan erat antara pencak dan tari seperti halnya pada keempat daerah terebut di atas.  Pada umumnya sikap-sikap kepencakan itu hanya menandai tari pria saja.  kekecualiannya adalah pada tari Minang.  Di sini peran wanita pun, misalnya Puti Bungsu dalam Tari Adok, ditarikan dengan gaya pencak.
Pada beberapa daerah tertentu di Indonesia, tari-tari pria menunjukkan kaitan yang amat erat dengan konsep perang.  Tari-tari kelompok pria dari Nias, Maluku, Irian, dan Nusa Tenggara memperlihatkan ini.  Gerak-gerak menyerang, mengelak dan mengintai ada dalam tari-tarian tersebut, meskipun dalam gaya yang amat berbeda dengan yang ditampilkan oleh ‘lingkungan’ pencak.  Maka di sini menjadi menarik untuk melihat adanyadua ‘kebudayaan perang’ ini.  Dapatkah suatu taksonomi (taxonomy) disusun mengenai tari-tarian Indonesia dan dari situ menyumbangkan sesuatu untuk pengelompokan budaya Nusantara?
Untuk sementara cukuplah dikenali kenyataan ini: bahwa dalam kebanyakan taridaerah di Indonesia, tari pria tumbuh dari atau sejajar dengan ide berkelahi atau berjuang.  Inilah mungkin yang menyebabkan bahwa laki-laki yang menari tidaklah menjadi keperempua-perempuanan selama ia menarika tari pria.

*) Falsafah adat Batak yang bertumpu pada Dalihan na Tolu (tungku nan tiga)menentukan adanya  pembagian tiga kelompok besar menurut  kedudukannya dalam hirarki keadatan.  Penentuan ini selalu bertitik tolak dari sudut posisi suhut (yang punya hajat atau yang mengadakan pesta/acara adat lainnya).  Ketiga kelompok tersebut ialah, Dongan sabutuha ialah saudara-saudara (tidak termasuk wanita) dari suhut dan pada umumnya yang se-marga dengan suhut (tidak termasuk wanita yang se-marga)
Boru ialah anak-anak perempuan dari suhut, termasuk suami-suami mereka.  Juga termasuk “kelompok” boru ialah saudara-saudara perempuan dari suhut, termasuk suami-suami dan keturunan mereka dan namboru (bibi) dari suhut serta suami dan anak keturunan mereka.       
Hula-hula ialah pihak tertua dari suhut.  Termasuk kelompok ini ialah semua saudara laki-laki dari sang mertua, serta anak keturunan mereka (tidak termasuk perempuan), atau menurut istilahnya yang lazim: dongan sabotuha-nya.
Pada waktu menari, ketiga kelompok ini berdiri pada posisi-posisi tertentu.  Masing-masing kelompok dalam barisannya sendiri-sendiri (tidak boleh campur-baur dengan kelompok lain).  Posisi dalam barisan kelopok diatur menurut hirarki atau “kelas” masing-masing menurut adat.
Demikian pula bentuk tari yang ditarikan tidak sama.  Umpamanya, jika suhut menari berhadapan dengan hula-hula, maka pihak suhut menarikan tari somba-somba (tari sembah), sementara hula-hula menjawab dengan tari pasu-pasu (tari memberkati).

Pustaka
Prof. Dr. Edi Sedyawati. “Pertumbuhan Seni Pertunjukan” hal. 72—76
Pustaka Sinar Harapan 2000 – Direktorat Pendidikan Menengah Umum