Sri Kresna Ahli Siasat Perang |
ILMU SIASAT PERANG DALAM KAKAWIN BHARATA-YUDHA 1
Oleh :
Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto
Pada waktu bangsa Indonesia
mengadakan perlawanan terhadap penjajah Belanda dalam perang kolonial,
seperti pada waktu perlawanan Sultan Hasanuddin dari Makasar, Pangeran
Mangkubumi (kelak bergelar Sultan Hamengku Buwana I), Perang Dipanegara, Perang
Padri, Perang Aceh dan lain-lainnya melawan Belanda, siasat perang bangsa
Indonesia telah mengejutkan pihak lawan, karena tidak disangka oleh pihak
penjajahBelanda, bahwa bangsa Indonesia memiliki akal yang cerdas untuk
menghadapi seranga musuh dalam pertempuran kecil, khususnya dalam perang
gerilya 1), seperti yang telah diuraikan
oleh Jendral A.H. Nasution. dijelaskan nasution. A.H.
NASUTION. Sekalipun perang
gerilya merupakan perang yang Hebat dan memeras otak dari pihak yang mengadakan
gerilya, perang ini secara sendiri belum dapat memberi pukulan terakhir kepada
musuh, karena kemenangan terakhir hanya bisa tercapai dengan tentara yang
teratur dengan serangan-serangan yang berbentuk frontal dan perang kecil.
Karena perang melawan musuh itu
dalam sejarah tidak hanya merupakan perang fisik-militer, akan tetapi juga
merupakan perang diplomasi, politik, psychologis dan sosial-ekonomis, tibullah
pertanyaan darimana gerangan bangsa Indonesia itu mempelajari siasat perang,
apabila mereka itu dalam sejarah mengadakan perang frontal dan gerilya terhadap
angkatan perang Belanda. Dengan
perkataan lain, disamping adanya faktor semangat menyala-nyala untuk
mempertahankan setiap jengkal tanah dari serangan luar dari pihak manapun juga,
pastilah bangsa Indonesia itu memiliki kitab-kitab mengenai siasat perang yang
bersifat khusus atau terselip dalam beberapa kitab kesusasteraan.
Apabila dikatakan, bahwa kitab
kesusasteraan itu menjadi dasar pengetahuan siasat perang, hal itu memang
benar, karena pada zaman kuno belum ada lembaga pendidikan seperti pada waktu
sekarang, segala macam pendidikan itu diambil dari isi kitab kesusasteraan yang
diberi penafsiran sesuai dengan il,u yang diajarkan, seperti moralitas, ilmu
negara, ilmu hukum, ilmu siasat perang dan sebagainya. Sudah barang tentu, karena ajaran-ajaran
tersebut tidak disusun secara sistematis, dibawah pimpinan seorang guru otak
setiap pelajar pada waktu yang lampau dilatih berdasarkan atas kitab-kitab
kesusasteraan mengenai sesuatu mata pelajaran dan mencari kesimpulan sendiri
dan apa yang diajarkan.
Dari kesusasteraan Indonesia kuno
ada beberapa bukti, bahwa Indonesia itu telah mengenal siasat perang. Suatu pengertian siasat perang yang penting
diketemukan dalam kitab kakawin Arjuna-wiwaha dari abad 11 dan kitab Nitisastra
dari abad 14 dan sekitarnya, keduanya dalam bahasa Jawa kuno yang masing-masing
memuat istilah sama-bheda-ddanndda .
pengertian siasat perang dalam
kesusateraan Jawa kuno itu diambil dari kesusateraan India, ialah dari kitab Arthasastra ciptaan Kauttilya dalam
bahasa sansekerta, ialah kitab yang mengajarkan tentang pengetahuan politik,
termasuk politik menghancurkan musuh.
Kitab ini rupanya menjadi kitab pegangan dalam lapangan ilmu politik
yang dikerjakan oleh keluarga raja-raja Gupta yang pernah mempersatukan
sebagian besar India.
Menurut ajaran sama-bedha-ddanndda dirumuskan, bahwa
setiap kepala negara yang ingin membinasakan lawannya wajib mencari sekutu
(sama) di antara negara-negara yang berhubungan baik. Telah diperhitungkan, bahwa pada waktu perang
dengan negara-negara lain, negara-negara yang telah terikat oleh ‘sama’ itu sedikitnya bersikap netral, bahkan dapat diharapkan adanya
sokongan dan bantuan dari negara-negara tersebur. Siasat kedua dari ‘sama-bedha-ddanndda’, ialah siasat ‘bheda’ yang berarti memecah
belah dan memerintah, yang kurang lebih sama dengan pengertian divide et
impera. Sebab apabila tujuan mengadu
domba musuh itu telah tercapai, sampailah waktunya untuk mempraktekkan ‘ddanndda’ atau pukulan, ialah pukulan
terakhir kepada musuh yang telah lemah itu.
Karena pengertian sama-bheda-ddanndda disebutkan dalam
kitab kakawin Arjunna-wiwaha dan Nitisastra, dijelaskan bahwa siasat
perang sama-bheda-ddanndda itu dikenal
dan dipelajari di Indonesia. Dalam
hubungan ini dapat dikatakan, bahwa pengetahuan penggunaan senjata perang itu
disebut ‘dhanurweda’ (weda berarti
pengetahuan, sedangkan dhanu berarti panah) dan merupakan sebagian dari
pengetahuan perang. Jalan untuk mencapai
kemenangan dalam perang dapat diperoleh dengan mempelajari pengetehaun yang
dalam kesusateraan Jawa baru disebut pengetahuan ‘jaya-kawijayan’, ialah pengetahuan untuk mendapat kemenangan
perang.
Pengetahuan tentang perang dalam
bentuk yang agak kongkrit diketemukan dalam beberapa kitab, di antaranya dalam
kakawin Bharata-Yudda yang
menyebutkan beberapa bentuk wyuha
atau susunan tentara, kitab Nitisastra
yang membicarakan cara untuk memilih seorang panglima, dan kitab Nagarakrertagama dari zaman Majapahit
yang menguraikan bagaimana raja Hayam Wuruk itu mempertontonkan kepandaian
tentaranya yang mendemonstrasikan segala macam ulah perang. Dari berita-berita yang diketemukan dalam
beberapa kitab kesusasteraan Jawa kuno dapat ditentukan dengan pasti, bahwa
ilmu siasat perang itu telah dikenal, sedikitnya di daerah Jawa, Bali dan Lombok.
Sebaliknya di daerah lainnya di
Indonesia juga diketahui bahwa ada beberapa kitab yang menunjukkan adanya
beberapa pengertian, bahwa siasat perang itu telah dipelajari di
Indonesia. Di dalam kitab sejarah melayu
disebutkan, bahwa pada menjelang malam direbutnya kota Malaka yang diserbu oleh
angkatan perang Portugis sejumlah banyak perwira muda yang menginginkan supaya
kitab Hikayat Mohammad Hanafiah itu dibacakan dengan tujuan untuk memberi
semangat kepada mereka karena di dalam kitab Hikayat Mohammad Hanafiah itu banyak disebutkan tentang siasat
perang. Kitab lain dalam
kesusasteraan Indonesia kuno yang juga memuat siasat perang, ialah kitab Hikayat Amir Hamzah. Seperti diketahui, Amir Hamzah adalah paman Nabi Muhammad s.a.w. dan dalam usahanya ikut meluaskan agama Islam, Amir Hamzah berperang dengan raja-raja di tanah Arab dan negara lainnya. Seperti telah diketahui, cerita Hikayat Amir Hamzah yang tumbuh di Indonesia itu melalui kesusasteraan Persia.
kesusasteraan Indonesia kuno yang juga memuat siasat perang, ialah kitab Hikayat Amir Hamzah. Seperti diketahui, Amir Hamzah adalah paman Nabi Muhammad s.a.w. dan dalam usahanya ikut meluaskan agama Islam, Amir Hamzah berperang dengan raja-raja di tanah Arab dan negara lainnya. Seperti telah diketahui, cerita Hikayat Amir Hamzah yang tumbuh di Indonesia itu melalui kesusasteraan Persia.
Hikayat Amir Hamzah dalam bahasa
Melayu itu sedemikian populernya, sehingga melalui Hikayat Amir Hamzah ini
disadur suatu cerita baru dalam bahasa Jawa baru pada zaman Mataram Kartasura
(kira-kira tahun 1700) dan terkenal
sebagai Serat Menak
(Kartasura). Karena pada waktu meluasnya agama Islam itu cerita-cerita dari
zaman pra-Islam itu agak terdesak, sebagai gantinya tumbuh cerita-cerita Islam
yang berpangkal kepada kitab Menak, sehingga R.Ng. Jasadipura ikut menulis
menulis cerita Menak dalam bahasa Jawa Baru.
Dengan ini mulai terkenallah tokoh Wong
Agung Menak Jayengrana, ialah sebutan Amir Hamzah dalam bahasa Jawa dan
pahlawan-pahlawan lainnya seperti Umarmaya, Lamdahur, Hirman, Kelan dan
lain-lainnya.
Disebabkan karena menyadur
kakawin Bharata-Yudha menjadi Serat Braratayuda Jarwa, R. Ng. Jasadipura telah
mengenal sejumlah banyak nama susunan tentara yang dipakai oleh keluarga
Pandawa dan Kurawa, cerita Menak dalam bahasa Jawa baru itu ditambah dengan
bagian-bagian yang berbentuk serangan secara frontal dan tahu bagaimana caranya
menjebak musuh yang menurut cerita itu dilancarkan oleh pasukan-pasukan yang
bersembunyi dan siasat ini sangat populer di antara rakyat biasa dengan istilah
‘baris
pendem’. Contoh-contoh lain
dapat diambil dari ‘Babad Ganti’ yang
mengisahkan perjuangan Mangkubumi yang
dikemudian hari bergelar Hamenku Buwana I
melawan Belanda. Kecuali disebutkan dalam Babad Ganti sendiri,
bahwa Pangeran Mangku Bumi itu seorang ahli
siasat perang, kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang Belanda juga
mengakui, bahwa Pangeran Mangku Bumi itu sungguh-sungguh seorang “strateeg”,
seperti yang ditunjukkan dalam pertempuran yang terjadi di tepi sungai
Bogowonto.
Contoh-contoh tentang keahlian
bangsa Indonesia untuk berperang dapat ditambahkan lagi dengan mengambil tokoh ‘Pangeran Diponegoro’ yang
menggoncangkan kedudukan Pemerintah kolonial Belanda. Apabila pada waktu dikejar oleh tentara
Belanda Pangeran diponegoro itu dapat menyelamatkan diri dengan jalan
menceburkan diri ke dalam sungai Progo yang sedang tinggi airnya, tetapi dapat
memilih bagian yang dangkal, sedangkan tentara Belanda masuk ke dalam sungai
ini di bagian-bagian yang dalam, sehingga terpaksa berenang dengan kuda-kudanya
sehingga tidak dapat mengejar kuda yang
dinaiki oleh Pangeran Diponegoro, ini disebabkan karena Pangeran Diponegoro
mengenal setiap jengkal tanah yang dipergunakan sebagai ajang bertempur melawan
Belanda. Kemenangan ini juga disebabkan
karena pasukan-pasukan Pangeran Diponegoro disuruh menyusun barisan pendem dan
dapat menghalau serangan tentara Belanda yang mengejar Pangeran Diponegoro.
Bahwa bangsa Indonesia telah
mengenal siasat perang yang juga dimiliki oleh negara-negara besar hal ini
telah telah dibuktikan ketika Sultan
Agung bersama tentaranya menyerang benteng kota mengepung Batavia tahun 1628
dengan menggali parit-parit untuk mendekati obyek yang akan direbut dan hal
tersebut tentunya telah mengejutkan para serdadu kompeni Belanda. Berita lainnya yang menunjukkan, bahwa bangsa
Indonesia pada abad 17 telah mempunyai organisasi ketentaraan yang disusun
rapih dengan tujuan memudahkan pelaksanaan siasat perang disebutkan oleh Dr. De
Helen, seorang utusan Belanda yang mengunjungi Karta, ibukota Mataram pada
zaman Sultan Agung. Dikatakan, bahwa
apabila ‘gong’ yang ada di empat
penjuru di kota ‘Karta’ dipukul,
dalam waktu setengah hari dapat dikumpulkan sebanyak 200.000 orang.
Dari berita-berita itu cukuplah
terbukti, bahwa rakyat Indonesia pada waktu lampau memang telah mengenal ilmu
siasat perang. Hanya saja tidak
diketemukan kitab-kitan yang menguraikan ilmu ini secara metodis dan sistematis. Seperti telah dikatakan di atas, seandainya
dapat diketemukan berita-beritanya, berita-berita itu ada terselip dalam kitab
kesusasteraan Indonesia kuno. Salah satu
buah kesusasteraan Indonesia kuno yang sedikit agak metodis membicarakan siasat
perang frontal yang disebut ‘wyuha’, ialah kitab ‘Kakawin
Bharata-Yuddha’.
Menurut kesusteraan India kuno,
kitab ‘Arthasastra karya Kauttilya’ menyebutkan beberapa macam wyuha, antara
lain ialah :
1. Ddanddda
wyuha, susunan tentara seperti bentuk alat pemukul,
2. Bhoga
wyuha, susunan tentara seperti ular,
3. Mannddala
wyuha, susunan tentara seperti bentuk lingkaran,
4. Asamhata
wyuha, susunan tentara yang bagian-bagiannya terpisah-pisah,
5. Pradara
wyuha, susunan tentara penggempur musuh,
6. Ddrddhaka
wyuha, susunan tentara dengan sayap dan lambung tertarik ke belakang,
7. Asahya
wyuha, susunan tentara yang tak bisa ditembus,
8. Garudda
wyuha, susunan tentara seperti burung garuda,
9. Sanjaya
wyuha, susunan tentara untuk mencapai kemenangan dan berbentuk busur,
10. Wijaya
wyuha, susunan tentara menyerupai busur dengan bagian busur depan yang menjorok
ke muka,
11. Sthulakarna
wyuha, bentuk susunan tentara yang menyerupai telinga besar (karna sthula),
12. Wiҫalawijaya
wyǔha, bentuk susunan tentara yang disebut kemenangan mutlak; susunannya sama
dengan sthulakarnna, hanya saja bagian depan disusun dua kali lebih kuat dari
sthulakarnna wyuha’
13. Camǔmukha wyǔha, bentuk susunan tentara dengan bentuk 2
sayap yang saling berhadapan muka dengan musuh (dalam bahasa sansekerta, camǔ
berarti satu kesatuan perang),
14. Jhashãsya
wyǔha, bentuk susunan tentara seperti
camǔmuka, hanya saja sayapnya ditarik ke belakang (jhashãsya berarti
muka ikan),
15. Sǔimukha
wyǔha, bentuk susunan tentara yang berujung (muka (mukha) seperti jarum (sǔci)
16. walaya
wyǔha, susunan tentara seperti Sǔimukha
wyǔha, hanya ajabarisannya terdiri 2 lapisan,
17. ajaya
wyǔha, susunan tentara yang tidak terkalahkan,
18. sarpasari
wyǔha, susunan tentara seperti ular (sarpa) yang bergerak (sari),)
19. gomǔtrika
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk arah terbuangnya air kencing (mǔtrika)
sapi (go),
20. syandana
wyǔha, susunan tentara yang menyerupai kereta (syandana),
21. godha
wyǔha, susunan tentara yang menyerupai buaya (godha),
22. wâripatantaka wyǔha, susunan tentara sama
seperti syandana wyǔha, hanya semua pasukan terdiri dari barisan gajah, kuda
dan kereta perang,
23. Sarwatomukha
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk lingkaran, sehingga pengertian sayap,
lambung dan bagian depan tidak ada lagi; sarwato dari kata sarwata yang berarti
seluruh, sedangkan mukha berarti arah,
24. Sarwatabhadra
wyǔha, susunan tentara yang serba (sarwata) menguntungkan (bhadra),
25. Ashttanika
wyǔha, susunan tentara yang terdiri dari 8 divisi ( assatt atau assashttanika
berarti delapan)
26. Wajra
wyǔha, susunan tentara menyerupai petir (wajra) dan terdiri dari 5 divisi yang
disusun terpisah-pisah satu dari yang lain,
27. Udyâ
wyǔha, susunan tentara menyerupai taman (udyânaka) yang juga disebut kâkapadi
wyǔha, artinya susunan yang berbentuk kaki (padi berarti berkaki) burung
kaka-tua (kâka) dengan ketentuan bahwa susunan tentara ini terdiri 4 divisi,
28. Ardhacandrika
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk bulan sabit, juga disebut ardhacandra
wyǔha ; ditentukan bahwa susunan tentara ini berdasarkan atas 3 divisi,
29. Karkâttakaҫrênggi
wyǔha, susunan tentara yang berbentukkepala (ҫrêngga) udang (karkâttaka),
30. Artisa
wyǔha, susunan tentara yang serba menang (arista) dengan susunan garis depan
yang ditempati oleh barisan kereta perang, barisan gajah, sedang barisan kuda
menempati garis belakang,
31. Acala
wyǔha, susunan tentara yang tidak bergerak, ialah suatu susunan tentara dengan
menempatkan barisan infanteri, barisan gajah, barisan kuda dan barisan kereta
perang satu di belakang yang lain,
32. Ҫyena
wyǔha, susunan tentara sama dengan garudda eyǔha,
33. Apratihata
wyǔha, susunan tentara yang tidak dapat dilawan (pratihata berarti melawan
sedangkan ‘a’ berarti tidak) dengan ketentuan bahwa barisan gajah, barisan
kuda, barisan kereta perang dan barisan infanteri ditempatkan satu di belakang
yang lain,
34. Capa
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk busur
35. Madhya
capa wyǔha, susunan tentara yang berbentuk busur dengan inti kekuatan dibagian
tengah.
Sebaliknya, di dalam kitab Kamandaka, salah satu kitab dari
kesusateraan Jawa kuno disebutkan 8 macam wyǔha, ialah :
1. Garudda
wyǔha (atau byuha),
susunan tentara yang berbentuk garuda,
2. Singha
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk singa,
3. Makara
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk
makara (udang)
4. Cakra
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk cakram,
5. Padma
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk bunga seroja,
6. Wukir
sagara wyǔha, susunan tentara yang berbentuk bukit dan samudera,
7. Ardhanacandra
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk
bulan sabit,
8. Wajratikshnna
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk
wajra atau petir yang tajam.
Di dalam kakawin Bhârata-Yudha disebutkan 10 macam wyǔha, ialah :
1. Wukir
sagara wyǔha (terdapat dalam transkripsi kakawin bharata-Yudha Pupuh X dan
XL 2)
2. Wajratikshnna
(Pupuh X 11)
3. Kagapati
wyǔha (Pupuh XII 6)
4. Gajendramatta
atau gajamatta wyǔha (Pupuh XIII 13)
5. Cakra
wyǔha (Pupuh XIII 22 dan XV 21)
6. Makara
wyǔha ( XIII 24 dan XXVII 2 )
7. Sǔcimukha
wyǔha dalam Pupuh XV 21)
8. Padma
wyǔha
(Dalam Pupuh XV 22)
9. Ardhanacandra
wyǔha (Dalam Pupuh XXVI 5)
10. Kânanja
wyǔha (Dalam Pupuh XL 2)
Ketika
perang besar antara keluarga Kurawa dan Padawa dimulai, tentara Kurawa
mengambil susunan tentara wukir sagara.
Raja-raja takluk, kerajaan Hastina yang berkendaraan gajah dan kuda
merupakan karang laut yang serba kokoh dan kuat, sedangkan serangan prajurit
yang bergelombang itu merupakan gelombang samudera yang tiadak ada
henti-hentinya. Susunan tentara ini
memerlukan memerlukan sejumlah prajurit yang banyak, bertempur dalam massa yang
besar dan memiliki dinamika dan daya tempur yang tinggi, hal tersebut sebagaimana
diceritakan dalam Pupuh X 17, yang
menyatakan bahwa satu kereta perang diperkuat oleh 10 ekor gajah, sedangkan
masing-masing gajah diperkuat oleh 10 ekor kuda dan seekor kuda diperkuat oleh
10 orang prajurit. Massa yang banyak
dengan kuda dan gajah itu menjadi bukit yang kokoh.
Sebaliknya
dalam permulaan perang ini menurut Pupuh X, 11 keluarga Pandawa mengambil
susunan tentara yang disebut ‘wajratikshnna wyǔha’, artinya petir yang
tajam. Bima, Arjuna dan Srikandi
merupakan ujung petir yang tajam, sedangkan putera-putera Wirata, Uttara dan
Sangka, bersama-sama Setyaki serta Drestajumena memimpin pertahanan di
belakang. Yudhistira bersama-sama dengan
raja lainnya, — tentunya yang dimaksud ialah Kresna, Nakula dan Sadewa bersama-sama
dengan Sweta —, dalam Pupuh X 11 itu
dikatakan ada di barisan tengah. Susunan
tentara yang disebutkan dalam kakawin Bharata-Yudha ini berbeda dengan apa yang
disebutkan dalam serat Bratayuda Jaewa yang dipergunakan oleh J. Kats sebagai
bahan penulisan bukunya. Bersambung !
Sumber :
Prof. Dr.
R.M. Sutjipto Wirjosuparto, “Kakawin Bharata-Yuddha”
Penerbit –
Bhratara – Jakarta 1968