Sita Blog: "JAYALAH NUSANTARA"
Jaya,jayalah Negeriku Indonesia. Negeri di Jawadwipa Nusantara bagaikan zamrud khatulistiwa. Jaya,jayalah Negeriku Indonesia. Bermacam-macam suku dan agama di bawah naungan Pancasila. Hayo mari semua bulatkan tekad baja. Mari kita berkarya 'tuk membangun negara Republik Indonesia. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, jayalah Indonesia, negeriku Indonesia semoga tetap jaya untuk selama-lamanya.
Jumat, 28 Februari 2020
Blog Sita: "SASTRA NUSANTARA": ARJUNA DALAM EPOS MAHABHARATA 5 By Sri Guritno-Pur...
Blog Sita: "SASTRA NUSANTARA": ARJUNA DALAM EPOS MAHABHARATA 5 By Sri Guritno-Pur...: Blog Sita: "Sastra Nusantara" Jumat, 28 Febuari 2020-21.48 WIB Duryudana I. ARJUNA MELAKSANAKAN PERINTA...
Kamis, 27 Februari 2020
Blog Sita: "SASTRA NUSANTARA": ARJUNA DALAM EPOS MAHABHARATA 4 BY Sri Guritno - P...
Blog Sita: "SASTRA NUSANTARA": ARJUNA DALAM EPOS MAHABHARATA 4 BY Sri Guritno - P...: Blog Sta : "Sastra Nusantara" Jumat, 28 Febuari 2020-08.45 WIB Arjuna Kresna H. MEMBAKAR HU...
Sabtu, 22 Februari 2020
Blog Sita: "SASTRA NUSANTARA": "ARJUNA DALAM EPOS MAHABHARATA" By Sri Guritno - P...
Blog Sita: "SASTRA NUSANTARA": "ARJUNA DALAM EPOS MAHABHARATA" By Sri Guritno - P...: Blog Sita : "Sastra Nusantara" Minggu, 23 Febuari 2020 - 08.02 WIB Buku "Karakter Tokoh Pewayangan Mahabharata ...
Sabtu, 24 Oktober 2015
Ilmu Siasat Perang Dalam Kakawin Bharata-Yudha 1 Oleh Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto
Sri Kresna Ahli Siasat Perang |
ILMU SIASAT PERANG DALAM KAKAWIN BHARATA-YUDHA 1
Oleh :
Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto
Pada waktu bangsa Indonesia
mengadakan perlawanan terhadap penjajah Belanda dalam perang kolonial,
seperti pada waktu perlawanan Sultan Hasanuddin dari Makasar, Pangeran
Mangkubumi (kelak bergelar Sultan Hamengku Buwana I), Perang Dipanegara, Perang
Padri, Perang Aceh dan lain-lainnya melawan Belanda, siasat perang bangsa
Indonesia telah mengejutkan pihak lawan, karena tidak disangka oleh pihak
penjajahBelanda, bahwa bangsa Indonesia memiliki akal yang cerdas untuk
menghadapi seranga musuh dalam pertempuran kecil, khususnya dalam perang
gerilya 1), seperti yang telah diuraikan
oleh Jendral A.H. Nasution. dijelaskan nasution. A.H.
NASUTION. Sekalipun perang
gerilya merupakan perang yang Hebat dan memeras otak dari pihak yang mengadakan
gerilya, perang ini secara sendiri belum dapat memberi pukulan terakhir kepada
musuh, karena kemenangan terakhir hanya bisa tercapai dengan tentara yang
teratur dengan serangan-serangan yang berbentuk frontal dan perang kecil.
Karena perang melawan musuh itu
dalam sejarah tidak hanya merupakan perang fisik-militer, akan tetapi juga
merupakan perang diplomasi, politik, psychologis dan sosial-ekonomis, tibullah
pertanyaan darimana gerangan bangsa Indonesia itu mempelajari siasat perang,
apabila mereka itu dalam sejarah mengadakan perang frontal dan gerilya terhadap
angkatan perang Belanda. Dengan
perkataan lain, disamping adanya faktor semangat menyala-nyala untuk
mempertahankan setiap jengkal tanah dari serangan luar dari pihak manapun juga,
pastilah bangsa Indonesia itu memiliki kitab-kitab mengenai siasat perang yang
bersifat khusus atau terselip dalam beberapa kitab kesusasteraan.
Apabila dikatakan, bahwa kitab
kesusasteraan itu menjadi dasar pengetahuan siasat perang, hal itu memang
benar, karena pada zaman kuno belum ada lembaga pendidikan seperti pada waktu
sekarang, segala macam pendidikan itu diambil dari isi kitab kesusasteraan yang
diberi penafsiran sesuai dengan il,u yang diajarkan, seperti moralitas, ilmu
negara, ilmu hukum, ilmu siasat perang dan sebagainya. Sudah barang tentu, karena ajaran-ajaran
tersebut tidak disusun secara sistematis, dibawah pimpinan seorang guru otak
setiap pelajar pada waktu yang lampau dilatih berdasarkan atas kitab-kitab
kesusasteraan mengenai sesuatu mata pelajaran dan mencari kesimpulan sendiri
dan apa yang diajarkan.
Dari kesusasteraan Indonesia kuno
ada beberapa bukti, bahwa Indonesia itu telah mengenal siasat perang. Suatu pengertian siasat perang yang penting
diketemukan dalam kitab kakawin Arjuna-wiwaha dari abad 11 dan kitab Nitisastra
dari abad 14 dan sekitarnya, keduanya dalam bahasa Jawa kuno yang masing-masing
memuat istilah sama-bheda-ddanndda .
pengertian siasat perang dalam
kesusateraan Jawa kuno itu diambil dari kesusateraan India, ialah dari kitab Arthasastra ciptaan Kauttilya dalam
bahasa sansekerta, ialah kitab yang mengajarkan tentang pengetahuan politik,
termasuk politik menghancurkan musuh.
Kitab ini rupanya menjadi kitab pegangan dalam lapangan ilmu politik
yang dikerjakan oleh keluarga raja-raja Gupta yang pernah mempersatukan
sebagian besar India.
Menurut ajaran sama-bedha-ddanndda dirumuskan, bahwa
setiap kepala negara yang ingin membinasakan lawannya wajib mencari sekutu
(sama) di antara negara-negara yang berhubungan baik. Telah diperhitungkan, bahwa pada waktu perang
dengan negara-negara lain, negara-negara yang telah terikat oleh ‘sama’ itu sedikitnya bersikap netral, bahkan dapat diharapkan adanya
sokongan dan bantuan dari negara-negara tersebur. Siasat kedua dari ‘sama-bedha-ddanndda’, ialah siasat ‘bheda’ yang berarti memecah
belah dan memerintah, yang kurang lebih sama dengan pengertian divide et
impera. Sebab apabila tujuan mengadu
domba musuh itu telah tercapai, sampailah waktunya untuk mempraktekkan ‘ddanndda’ atau pukulan, ialah pukulan
terakhir kepada musuh yang telah lemah itu.
Karena pengertian sama-bheda-ddanndda disebutkan dalam
kitab kakawin Arjunna-wiwaha dan Nitisastra, dijelaskan bahwa siasat
perang sama-bheda-ddanndda itu dikenal
dan dipelajari di Indonesia. Dalam
hubungan ini dapat dikatakan, bahwa pengetahuan penggunaan senjata perang itu
disebut ‘dhanurweda’ (weda berarti
pengetahuan, sedangkan dhanu berarti panah) dan merupakan sebagian dari
pengetahuan perang. Jalan untuk mencapai
kemenangan dalam perang dapat diperoleh dengan mempelajari pengetehaun yang
dalam kesusateraan Jawa baru disebut pengetahuan ‘jaya-kawijayan’, ialah pengetahuan untuk mendapat kemenangan
perang.
Pengetahuan tentang perang dalam
bentuk yang agak kongkrit diketemukan dalam beberapa kitab, di antaranya dalam
kakawin Bharata-Yudda yang
menyebutkan beberapa bentuk wyuha
atau susunan tentara, kitab Nitisastra
yang membicarakan cara untuk memilih seorang panglima, dan kitab Nagarakrertagama dari zaman Majapahit
yang menguraikan bagaimana raja Hayam Wuruk itu mempertontonkan kepandaian
tentaranya yang mendemonstrasikan segala macam ulah perang. Dari berita-berita yang diketemukan dalam
beberapa kitab kesusasteraan Jawa kuno dapat ditentukan dengan pasti, bahwa
ilmu siasat perang itu telah dikenal, sedikitnya di daerah Jawa, Bali dan Lombok.
Sebaliknya di daerah lainnya di
Indonesia juga diketahui bahwa ada beberapa kitab yang menunjukkan adanya
beberapa pengertian, bahwa siasat perang itu telah dipelajari di
Indonesia. Di dalam kitab sejarah melayu
disebutkan, bahwa pada menjelang malam direbutnya kota Malaka yang diserbu oleh
angkatan perang Portugis sejumlah banyak perwira muda yang menginginkan supaya
kitab Hikayat Mohammad Hanafiah itu dibacakan dengan tujuan untuk memberi
semangat kepada mereka karena di dalam kitab Hikayat Mohammad Hanafiah itu banyak disebutkan tentang siasat
perang. Kitab lain dalam
kesusasteraan Indonesia kuno yang juga memuat siasat perang, ialah kitab Hikayat Amir Hamzah. Seperti diketahui, Amir Hamzah adalah paman Nabi Muhammad s.a.w. dan dalam usahanya ikut meluaskan agama Islam, Amir Hamzah berperang dengan raja-raja di tanah Arab dan negara lainnya. Seperti telah diketahui, cerita Hikayat Amir Hamzah yang tumbuh di Indonesia itu melalui kesusasteraan Persia.
kesusasteraan Indonesia kuno yang juga memuat siasat perang, ialah kitab Hikayat Amir Hamzah. Seperti diketahui, Amir Hamzah adalah paman Nabi Muhammad s.a.w. dan dalam usahanya ikut meluaskan agama Islam, Amir Hamzah berperang dengan raja-raja di tanah Arab dan negara lainnya. Seperti telah diketahui, cerita Hikayat Amir Hamzah yang tumbuh di Indonesia itu melalui kesusasteraan Persia.
Hikayat Amir Hamzah dalam bahasa
Melayu itu sedemikian populernya, sehingga melalui Hikayat Amir Hamzah ini
disadur suatu cerita baru dalam bahasa Jawa baru pada zaman Mataram Kartasura
(kira-kira tahun 1700) dan terkenal
sebagai Serat Menak
(Kartasura). Karena pada waktu meluasnya agama Islam itu cerita-cerita dari
zaman pra-Islam itu agak terdesak, sebagai gantinya tumbuh cerita-cerita Islam
yang berpangkal kepada kitab Menak, sehingga R.Ng. Jasadipura ikut menulis
menulis cerita Menak dalam bahasa Jawa Baru.
Dengan ini mulai terkenallah tokoh Wong
Agung Menak Jayengrana, ialah sebutan Amir Hamzah dalam bahasa Jawa dan
pahlawan-pahlawan lainnya seperti Umarmaya, Lamdahur, Hirman, Kelan dan
lain-lainnya.
Disebabkan karena menyadur
kakawin Bharata-Yudha menjadi Serat Braratayuda Jarwa, R. Ng. Jasadipura telah
mengenal sejumlah banyak nama susunan tentara yang dipakai oleh keluarga
Pandawa dan Kurawa, cerita Menak dalam bahasa Jawa baru itu ditambah dengan
bagian-bagian yang berbentuk serangan secara frontal dan tahu bagaimana caranya
menjebak musuh yang menurut cerita itu dilancarkan oleh pasukan-pasukan yang
bersembunyi dan siasat ini sangat populer di antara rakyat biasa dengan istilah
‘baris
pendem’. Contoh-contoh lain
dapat diambil dari ‘Babad Ganti’ yang
mengisahkan perjuangan Mangkubumi yang
dikemudian hari bergelar Hamenku Buwana I
melawan Belanda. Kecuali disebutkan dalam Babad Ganti sendiri,
bahwa Pangeran Mangku Bumi itu seorang ahli
siasat perang, kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang Belanda juga
mengakui, bahwa Pangeran Mangku Bumi itu sungguh-sungguh seorang “strateeg”,
seperti yang ditunjukkan dalam pertempuran yang terjadi di tepi sungai
Bogowonto.
Contoh-contoh tentang keahlian
bangsa Indonesia untuk berperang dapat ditambahkan lagi dengan mengambil tokoh ‘Pangeran Diponegoro’ yang
menggoncangkan kedudukan Pemerintah kolonial Belanda. Apabila pada waktu dikejar oleh tentara
Belanda Pangeran diponegoro itu dapat menyelamatkan diri dengan jalan
menceburkan diri ke dalam sungai Progo yang sedang tinggi airnya, tetapi dapat
memilih bagian yang dangkal, sedangkan tentara Belanda masuk ke dalam sungai
ini di bagian-bagian yang dalam, sehingga terpaksa berenang dengan kuda-kudanya
sehingga tidak dapat mengejar kuda yang
dinaiki oleh Pangeran Diponegoro, ini disebabkan karena Pangeran Diponegoro
mengenal setiap jengkal tanah yang dipergunakan sebagai ajang bertempur melawan
Belanda. Kemenangan ini juga disebabkan
karena pasukan-pasukan Pangeran Diponegoro disuruh menyusun barisan pendem dan
dapat menghalau serangan tentara Belanda yang mengejar Pangeran Diponegoro.
Bahwa bangsa Indonesia telah
mengenal siasat perang yang juga dimiliki oleh negara-negara besar hal ini
telah telah dibuktikan ketika Sultan
Agung bersama tentaranya menyerang benteng kota mengepung Batavia tahun 1628
dengan menggali parit-parit untuk mendekati obyek yang akan direbut dan hal
tersebut tentunya telah mengejutkan para serdadu kompeni Belanda. Berita lainnya yang menunjukkan, bahwa bangsa
Indonesia pada abad 17 telah mempunyai organisasi ketentaraan yang disusun
rapih dengan tujuan memudahkan pelaksanaan siasat perang disebutkan oleh Dr. De
Helen, seorang utusan Belanda yang mengunjungi Karta, ibukota Mataram pada
zaman Sultan Agung. Dikatakan, bahwa
apabila ‘gong’ yang ada di empat
penjuru di kota ‘Karta’ dipukul,
dalam waktu setengah hari dapat dikumpulkan sebanyak 200.000 orang.
Dari berita-berita itu cukuplah
terbukti, bahwa rakyat Indonesia pada waktu lampau memang telah mengenal ilmu
siasat perang. Hanya saja tidak
diketemukan kitab-kitan yang menguraikan ilmu ini secara metodis dan sistematis. Seperti telah dikatakan di atas, seandainya
dapat diketemukan berita-beritanya, berita-berita itu ada terselip dalam kitab
kesusasteraan Indonesia kuno. Salah satu
buah kesusasteraan Indonesia kuno yang sedikit agak metodis membicarakan siasat
perang frontal yang disebut ‘wyuha’, ialah kitab ‘Kakawin
Bharata-Yuddha’.
Menurut kesusteraan India kuno,
kitab ‘Arthasastra karya Kauttilya’ menyebutkan beberapa macam wyuha, antara
lain ialah :
1. Ddanddda
wyuha, susunan tentara seperti bentuk alat pemukul,
2. Bhoga
wyuha, susunan tentara seperti ular,
3. Mannddala
wyuha, susunan tentara seperti bentuk lingkaran,
4. Asamhata
wyuha, susunan tentara yang bagian-bagiannya terpisah-pisah,
5. Pradara
wyuha, susunan tentara penggempur musuh,
6. Ddrddhaka
wyuha, susunan tentara dengan sayap dan lambung tertarik ke belakang,
7. Asahya
wyuha, susunan tentara yang tak bisa ditembus,
8. Garudda
wyuha, susunan tentara seperti burung garuda,
9. Sanjaya
wyuha, susunan tentara untuk mencapai kemenangan dan berbentuk busur,
10. Wijaya
wyuha, susunan tentara menyerupai busur dengan bagian busur depan yang menjorok
ke muka,
11. Sthulakarna
wyuha, bentuk susunan tentara yang menyerupai telinga besar (karna sthula),
12. Wiҫalawijaya
wyǔha, bentuk susunan tentara yang disebut kemenangan mutlak; susunannya sama
dengan sthulakarnna, hanya saja bagian depan disusun dua kali lebih kuat dari
sthulakarnna wyuha’
13. Camǔmukha wyǔha, bentuk susunan tentara dengan bentuk 2
sayap yang saling berhadapan muka dengan musuh (dalam bahasa sansekerta, camǔ
berarti satu kesatuan perang),
14. Jhashãsya
wyǔha, bentuk susunan tentara seperti
camǔmuka, hanya saja sayapnya ditarik ke belakang (jhashãsya berarti
muka ikan),
15. Sǔimukha
wyǔha, bentuk susunan tentara yang berujung (muka (mukha) seperti jarum (sǔci)
16. walaya
wyǔha, susunan tentara seperti Sǔimukha
wyǔha, hanya ajabarisannya terdiri 2 lapisan,
17. ajaya
wyǔha, susunan tentara yang tidak terkalahkan,
18. sarpasari
wyǔha, susunan tentara seperti ular (sarpa) yang bergerak (sari),)
19. gomǔtrika
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk arah terbuangnya air kencing (mǔtrika)
sapi (go),
20. syandana
wyǔha, susunan tentara yang menyerupai kereta (syandana),
21. godha
wyǔha, susunan tentara yang menyerupai buaya (godha),
22. wâripatantaka wyǔha, susunan tentara sama
seperti syandana wyǔha, hanya semua pasukan terdiri dari barisan gajah, kuda
dan kereta perang,
23. Sarwatomukha
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk lingkaran, sehingga pengertian sayap,
lambung dan bagian depan tidak ada lagi; sarwato dari kata sarwata yang berarti
seluruh, sedangkan mukha berarti arah,
24. Sarwatabhadra
wyǔha, susunan tentara yang serba (sarwata) menguntungkan (bhadra),
25. Ashttanika
wyǔha, susunan tentara yang terdiri dari 8 divisi ( assatt atau assashttanika
berarti delapan)
26. Wajra
wyǔha, susunan tentara menyerupai petir (wajra) dan terdiri dari 5 divisi yang
disusun terpisah-pisah satu dari yang lain,
27. Udyâ
wyǔha, susunan tentara menyerupai taman (udyânaka) yang juga disebut kâkapadi
wyǔha, artinya susunan yang berbentuk kaki (padi berarti berkaki) burung
kaka-tua (kâka) dengan ketentuan bahwa susunan tentara ini terdiri 4 divisi,
28. Ardhacandrika
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk bulan sabit, juga disebut ardhacandra
wyǔha ; ditentukan bahwa susunan tentara ini berdasarkan atas 3 divisi,
29. Karkâttakaҫrênggi
wyǔha, susunan tentara yang berbentukkepala (ҫrêngga) udang (karkâttaka),
30. Artisa
wyǔha, susunan tentara yang serba menang (arista) dengan susunan garis depan
yang ditempati oleh barisan kereta perang, barisan gajah, sedang barisan kuda
menempati garis belakang,
31. Acala
wyǔha, susunan tentara yang tidak bergerak, ialah suatu susunan tentara dengan
menempatkan barisan infanteri, barisan gajah, barisan kuda dan barisan kereta
perang satu di belakang yang lain,
32. Ҫyena
wyǔha, susunan tentara sama dengan garudda eyǔha,
33. Apratihata
wyǔha, susunan tentara yang tidak dapat dilawan (pratihata berarti melawan
sedangkan ‘a’ berarti tidak) dengan ketentuan bahwa barisan gajah, barisan
kuda, barisan kereta perang dan barisan infanteri ditempatkan satu di belakang
yang lain,
34. Capa
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk busur
35. Madhya
capa wyǔha, susunan tentara yang berbentuk busur dengan inti kekuatan dibagian
tengah.
Sebaliknya, di dalam kitab Kamandaka, salah satu kitab dari
kesusateraan Jawa kuno disebutkan 8 macam wyǔha, ialah :
1. Garudda
wyǔha (atau byuha),
susunan tentara yang berbentuk garuda,
2. Singha
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk singa,
3. Makara
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk
makara (udang)
4. Cakra
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk cakram,
5. Padma
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk bunga seroja,
6. Wukir
sagara wyǔha, susunan tentara yang berbentuk bukit dan samudera,
7. Ardhanacandra
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk
bulan sabit,
8. Wajratikshnna
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk
wajra atau petir yang tajam.
Di dalam kakawin Bhârata-Yudha disebutkan 10 macam wyǔha, ialah :
1. Wukir
sagara wyǔha (terdapat dalam transkripsi kakawin bharata-Yudha Pupuh X dan
XL 2)
2. Wajratikshnna
(Pupuh X 11)
3. Kagapati
wyǔha (Pupuh XII 6)
4. Gajendramatta
atau gajamatta wyǔha (Pupuh XIII 13)
5. Cakra
wyǔha (Pupuh XIII 22 dan XV 21)
6. Makara
wyǔha ( XIII 24 dan XXVII 2 )
7. Sǔcimukha
wyǔha dalam Pupuh XV 21)
8. Padma
wyǔha
(Dalam Pupuh XV 22)
9. Ardhanacandra
wyǔha (Dalam Pupuh XXVI 5)
10. Kânanja
wyǔha (Dalam Pupuh XL 2)
Ketika
perang besar antara keluarga Kurawa dan Padawa dimulai, tentara Kurawa
mengambil susunan tentara wukir sagara.
Raja-raja takluk, kerajaan Hastina yang berkendaraan gajah dan kuda
merupakan karang laut yang serba kokoh dan kuat, sedangkan serangan prajurit
yang bergelombang itu merupakan gelombang samudera yang tiadak ada
henti-hentinya. Susunan tentara ini
memerlukan memerlukan sejumlah prajurit yang banyak, bertempur dalam massa yang
besar dan memiliki dinamika dan daya tempur yang tinggi, hal tersebut sebagaimana
diceritakan dalam Pupuh X 17, yang
menyatakan bahwa satu kereta perang diperkuat oleh 10 ekor gajah, sedangkan
masing-masing gajah diperkuat oleh 10 ekor kuda dan seekor kuda diperkuat oleh
10 orang prajurit. Massa yang banyak
dengan kuda dan gajah itu menjadi bukit yang kokoh.
Sebaliknya
dalam permulaan perang ini menurut Pupuh X, 11 keluarga Pandawa mengambil
susunan tentara yang disebut ‘wajratikshnna wyǔha’, artinya petir yang
tajam. Bima, Arjuna dan Srikandi
merupakan ujung petir yang tajam, sedangkan putera-putera Wirata, Uttara dan
Sangka, bersama-sama Setyaki serta Drestajumena memimpin pertahanan di
belakang. Yudhistira bersama-sama dengan
raja lainnya, — tentunya yang dimaksud ialah Kresna, Nakula dan Sadewa bersama-sama
dengan Sweta —, dalam Pupuh X 11 itu
dikatakan ada di barisan tengah. Susunan
tentara yang disebutkan dalam kakawin Bharata-Yudha ini berbeda dengan apa yang
disebutkan dalam serat Bratayuda Jaewa yang dipergunakan oleh J. Kats sebagai
bahan penulisan bukunya. Bersambung !
Sumber :
Prof. Dr.
R.M. Sutjipto Wirjosuparto, “Kakawin Bharata-Yuddha”
Penerbit –
Bhratara – Jakarta 1968
Label:
Sastra Klasik
Sabtu, 26 September 2015
“PENCAK SEBAGAI SUMBER DAN SAUDARA KANDUNG TARI” By Prof. Dr. Edi Sedyawati
“PENCAK SEBAGAI SUMBER DAN SAUDARA KANDUNG TARI”
Oleh : Prof. Dr. Edi Sedyawati
Minggu, 27 September 2015 - Dalam kebudayaan-kebudayaan daerah
tertentu di Indonesia, pengertian tari seperti tak dapat dipisahkan dari
pencak, karena keduanya lahir dari satu lingkungan penggiat. Sekurang-kurangnya ada empat kebudayaan
daerah yang memperlihatkan gejala ini, yaitu Minangkabau, Sunda, Melayu dan
Batak.
Dalam kebudayaan Minangkabau,
kegiatan pencak maupun tari dilakukan oleh suatu kelompok warga komuniti yang disebut orang mudo. Mereka ini terdiri dari kaum lelaki yang bukan ninik mamak. Mereka
merupakan nerupakan suatu golongan masyarakat tersendiri. Kegiatan pencak maupun tari dan juga
bentuk-bentuk kesenian lain, mereka lakukan di sasaran, yaitu suatu tempat terbuka yang tanahnya sudah
diratakan. Setiap desa, atau di Minang
disebut nagari, mempunyai sebuah sasara. Baik sasarannya
maupun isi perbendaharaan pencak-silat dan keseniannya adalah hak milik nagari
yang bersangkutan. Dengan kata lain,
perbendaharaan tersebut merupakan atribut nagari. Dengan demikian, bertolak dari struktur
kebudayaan ini sebenarnya tak mungkin disebutkan manakah gaya tari atau gaya
pencak Minang itu secara umum. Yang
jelas dapat dilihat adalah gaya dari nagari-nagari. Namun struktur budaya dasar tersebut tidak
melintasi perkembangan masyarakat masa kini, sehingga citra mengenai uniknya
perbendaharaan nagari-nagari ini di sana- sini telah mengabur. Pelembagaan festival-festival,
sekolah-sekolah dan berbagai keperluan nasional lain telah merentang jaring
antara nagari-nagari tersebut. beberapa
nagari mempunyai suatu kekuatan tertentu dalam mewujudkan dan mengembangkan repertoire khasnya, sehingga miliknya
tersebut sering ‘diangkat’menjadi milik Minang pada umumnya. Proses pembentukan citra Minang yang umum ini
dipercepat oleh hadirnya Akademi Seni Karawitan Indonesia dan Sekolah Menengah
Karawitan Indonesia di Padang Panjang yang berfungsi sebagai katalisator.
Dalam distem budaya Minang semula
tidak dikenal penampilan wanita di dalam tari.
Dengan kata lain wanita tak dibenarkan tampil di depan umum. Hanya dalam sastra Minang sering diberikan
deskripsi mengenai gadis ideal, yang kalau berjalan pado pai suruik nan labih ( = daripada maju, mundurnya yang lebih )
dengan kwalitas langkah yang dilukiskan sebagai samuik tapijak indak mati, alu rataruang patah tigo ( = semut
terpijak tidak mati, alu teratung patah tiga ).
Jadi gerak-gerik wanita ideal ini adalah lemah lembuttampaknya, tetapi
besar kekuatannya. Dalam kenyataan, repertore tari di nagari-nagari tidak
ada yang sifatnya lemah gemulai dan melenggang lenggok, melainkan kebanyakan
bersifat keras dan cekatan. Yang dapat
dilihat sebagai kekecualian adalah jenis tari
Saputangan di daerah pasisir
(daerah pantai) yang memperlihatkan pengaruh Portugis/Spanyol pada ritme
musiknya. Sifat jantan tarian Minang itu
mungkin disebabkan, pertama oleh karena semua ditarikan oleh laki-laki (juga
peran-peran wanita dalam teater Minang yang bernama randai) dan kedua oleh karena tari yang menjadi milik nagari-nagari
itu lahir bersama pencak dari satu kandungan.
Informasi dari daerah Paninan
misalnya, menyatakan bahwa tari, pencak dan silattak dapat dipisahkan satu sama
lain, karena memiliki perbendaharaan gerak yang sama. Yang membedakan ketiganya hanyalah
penggunaannya. Silat adalah jika
gerak-gerak itu digunakan dalam pertarungan dan bela diri sesungguhnya; pencak
adalah jika gerak-gerak itu digunakan dalam berlatih kelenturan, kecepatan,
kekuatan dan lain-lain agar siap untuk digunakan bersilat; sedang tari adalah jika
gerak-gerak itu digunakan untuk mendapatkan kenikmatan dan keindahan bentuknya,
disertai tingkahan ritme oleh gendang.
Jadi kita lihat pula di sini, bahwa kecuali tari tak dapat dipisahkan
dari pencak, ia juga tak dapat dipisahkan dari gendang.
Beberapa nama tarian milik
nagari-nagari yang dapat disebutkan adalah misalnya Alang Suntiang dari Padang Laweh, Adok dari Santiang Bakar, Alau-ambek
dari Sungai Sarik, Bénten dari
Painan, serta jenis-jenis perbendaharaan seperti Séwah, tari Perang, tari
Tangan, tari Kain, tari-tarian yang bertema Elang, tari Gelombang dan lain-lain yang terdapat dalam berbagai wujud di
berbagai nagari. Semua tari-tarian asal
nagari ini berdaar pencak. Jenis tari
yang lemah gemulai, khususnya tarian wanita seperti misalnya tari Pyung dan versi gemulai dari tari Lilin,
masih harus diteliti asal usulnya. Petunjuk-petunjuk
tertentu mengisyaratkan bahwa tari-tari Minang yang gemulai ini lahirnya di
kota-kota khususnya di lembaga-lembaga non-adat seperti sekolah-sekolah
perkumpulan-perkumpulan kesenian. Seorang
tokoh pembaharu tari Minang, yaitu Huriyah Adam almarhu, ingin mengembalikan
citra tari Minang ke dasar-dasar pencak.
Ia kembali berpaling ke nagari-nagari untuk mencari sumbernya.
Di atas telah disebutkan bahwa
perbendaharaan dasar dari tari, pencak dan silat di Minang adalah sama. Yang tetap itu adalah aspek bentuk
daripadanya, sedang aspek dinamik atau kwalitas gerak pada umumnya mengalami
perubahan jika terjadi modulasi antara
ketiga modus tersebut. sebuah geraka pada
pencak bisa menjadi keras, tajam dan cepat apabila digunakan dalam silat dan
sebaliknya bisa menjadi melemah dan penentuan arahnya tidak terlalu tajam
apabila digunakan dalam tari.
Hubungan yang erat diperlihatkan
pula oleh tari dan pencak dalam kebudayaan Sunda, meskipun tampak juga bahwa
kedua jenis kegiatan itu menbentuk dua lingkaran yang terpisah. Dalam lingkaran pencak terdapat penyajian gendang pencak yang dalam hal ini merupakan demonstrasi gerak-gerak pencak
dengan iringan gendang. Bedanyanya
dengan keadaan Minang adalah bahwa di sini tak terdapat modulasi kwalitas
gerak; jadi yang disajikan dalam gendang
pencak ini adalah sepenuhnya gerak-gerak pencak dan para penghayatnya
memang tak pernah menyebutnya tari.
Gerak-gerak pencak seperti yang
ditampilkan dalam gendang pencak itu sering pula sering pula disajikan dalam
kombinasi dengan suatu penyajian kesenian, misalnya berbagai jenis penyajian
teater, atau tari seperti Ketuk Tilu. Dalam penampilan yang dipadukan dengan
kesenian ini biasanya gerak-gerak pencaknya menjadi sedikit melunak. Dalam pertunjukan-pertunjukan rakyat di
Pasunfan, apabila tampil seorang pelaku pria menari, boleh dipastikan bahwa
gerak pencaklah yang dipakainya sebagai dasar.
Adapun penari wanita memperlihatkan gaya gerak yang berbeda: hampir tak
pernah mengambil sikap tubuh sléwah (Jawa
= menghadapkan torso dan tungkai ke arah yang berlawanan), yaitu sikap yang
justru menandai daar gerak pencak.
Adapun dalam tari-tarian Sunda urban, berawal dari ibing keurseus yang dibentuk atas dasar topeng Cirebon yangural itu, kesamaan sifat dengan
gerak-gerak pencak sudah hampir tak terlihat lagi. Ciri bentuk yang memperlihatkan kedekatan
dengan gerak pencak adalah sikap-sikap lengan dengan menyilangkan pergelangan
tangan di depan dada. Kenyataan ini
menyajikan tanda tanya tersendiri: adakah ciri tersebut merupakan sisa-sisa
asal kepencakan dari tari Sunda urban tersebut,
ataukah itu merupakan hasil saling pengaruh antara dua sumber oleh gerak, yaitu
pencak di satu pihak dan gaya tari di pihak lain.
Dalam tari Melayu, gaya gerak
pencak dipakai untuk penari pria. Namun dalam
hal ini gaya pencak ini tidaklah menandai keseluruhan tari pria, melainkan
hanya digunakan sebagai penyeling saja.
geraknya tidak berkwalitas keras dan tajam-arah, melainkan halus dan
berarah bebas.
Dalam kesenian Batak dikenal tortor dihat artinya tari pencak. Dihat sebagai kegiatan tersendiri yang lepas dari
kesenian, rupanya sudah lama tak hidup lagi di tanah Batak.
Gaya gerak pencak yang bercirikan
sikap dasar sléwah itu dalam banyak
tarian Batak dari berbagai daerah menandai tari prianya. Hanya saja tidak dalam semua tarian penari
pria bergaya pencak. Dalam hal tari-tari
upacara adat, misalnya ketika menari bersama kelompok hula-hula dan boru,*) maupun dalam jenis tari muda-mudi, baik
tari wanita maupun prianya sama sekali tidak menunjukkan ciri-ciri gerak pencak. Bahkan sebaliknya, sikap tubuh sangat
frontal, dengan torso dengan kedua
tungkaiyang keseluruhannya membentuk kesatuan sikap yang hampir dapat dikatakan
kaku, sedang lengan dan tangan bergerak minimal dalam arah-arah simetris. Gaya gerak pencak hanya diperlihatkan oleh
penari-penari pria pada beberapa tarian tertentu. Yang paling jelas adalah pada tortor dihat tersebut di atas. Dalam cara ungkapan yang lebih lunak ini
diperlihatkan juga oleh tarian burung
enggang dalam tari huda-huda dari
Simalungun. Dalam tari para datu (medium yang dulu berfungsi sebagai
kepala adat), apakah itu pada waktu menari dengan tunggal penaluan ( = tongkat keramat yang melambangkan kosmos) ataukah sedang menggoreskan
rajah di atas tanah, sering disertai gerak-gerak keras dalam sikap-sikap
pencak. Tarian para datu ini pada umumnya (dulu) tidak terikat oleh koreografi
tertentu, melainkan bersifat dadakan, atau dengan kata lain mengikuti petunjuk
dari alam gaib. Maka patut
dipertanyakan, apa sebab sikap pencak sering muncul pada tarian datu?
Apakah dihat merupakan perlengkapan
wajib dari seorang datu? Ataukah dihat
pernah sangat populer dalam masyarakat Batak pada umumnya, sehingga kesan kinestetisnya masuk secara tak disadari
ke dalam setiap diri setiap warga suku Batak yang memilikinya, sedemikian dalam
masuknya sehingga ia bisa muncul sewaktu seseorang berada di luar kesadarannya?
Mungkin masih ada daerah-daerah
lain di Indonesia yang memperlihatkan hubungan erat antara pencak dan tari
seperti halnya pada keempat daerah terebut di atas. Pada umumnya sikap-sikap kepencakan itu hanya
menandai tari pria saja. kekecualiannya
adalah pada tari Minang. Di sini peran
wanita pun, misalnya Puti Bungsu dalam
Tari Adok, ditarikan dengan gaya
pencak.
Pada beberapa daerah tertentu di
Indonesia, tari-tari pria menunjukkan kaitan yang amat erat dengan konsep
perang. Tari-tari kelompok pria dari
Nias, Maluku, Irian, dan Nusa Tenggara memperlihatkan ini. Gerak-gerak menyerang, mengelak dan mengintai
ada dalam tari-tarian tersebut, meskipun dalam gaya yang amat berbeda dengan
yang ditampilkan oleh ‘lingkungan’ pencak.
Maka di sini menjadi menarik untuk melihat adanyadua ‘kebudayaan perang’
ini. Dapatkah suatu taksonomi (taxonomy) disusun mengenai tari-tarian
Indonesia dan dari situ menyumbangkan sesuatu untuk pengelompokan budaya
Nusantara?
Untuk sementara cukuplah dikenali
kenyataan ini: bahwa dalam kebanyakan taridaerah di Indonesia, tari pria tumbuh
dari atau sejajar dengan ide berkelahi atau berjuang. Inilah mungkin yang menyebabkan bahwa
laki-laki yang menari tidaklah menjadi keperempua-perempuanan selama ia
menarika tari pria.
*) Falsafah adat Batak yang
bertumpu pada Dalihan na Tolu (tungku
nan tiga)menentukan adanya pembagian tiga
kelompok besar menurut kedudukannya
dalam hirarki keadatan. Penentuan ini
selalu bertitik tolak dari sudut posisi suhut
(yang punya hajat atau yang mengadakan pesta/acara adat lainnya). Ketiga kelompok tersebut ialah, Dongan sabutuha ialah saudara-saudara
(tidak termasuk wanita) dari suhut dan
pada umumnya yang se-marga dengan suhut (tidak termasuk wanita yang se-marga)
Boru ialah anak-anak perempuan
dari suhut, termasuk suami-suami
mereka. Juga termasuk “kelompok” boru ialah saudara-saudara perempuan
dari suhut, termasuk suami-suami dan
keturunan mereka dan namboru (bibi)
dari suhut serta suami dan anak
keturunan mereka.
Hula-hula ialah pihak tertua dari suhut. Termasuk kelompok ini
ialah semua saudara laki-laki dari sang mertua, serta anak keturunan mereka
(tidak termasuk perempuan), atau menurut istilahnya yang lazim: dongan
sabotuha-nya.
Pada waktu menari, ketiga kelompok ini berdiri pada
posisi-posisi tertentu. Masing-masing
kelompok dalam barisannya sendiri-sendiri (tidak boleh campur-baur dengan
kelompok lain). Posisi dalam barisan
kelopok diatur menurut hirarki atau “kelas” masing-masing menurut adat.
Demikian pula bentuk tari yang ditarikan tidak
sama. Umpamanya, jika suhut menari berhadapan dengan hula-hula, maka pihak suhut menarikan tari somba-somba (tari sembah), sementara hula-hula menjawab dengan tari pasu-pasu (tari memberkati).
Pustaka
Prof. Dr.
Edi Sedyawati. “Pertumbuhan Seni Pertunjukan” hal. 72—76
Pustaka
Sinar Harapan 2000 – Direktorat Pendidikan Menengah Umum
Langganan:
Postingan (Atom)