Sabtu, 30 November 2013

Cerita Rakyat Kutai: "KISAH PUAN TAHUN" Dihimpun Oleh Emi Diceritakan Oleh Sita Rose

Image "PUAN TAHUN" (Foto: SP091257)
Image "Puan Tahun" (Foto: SP091257)

Nina Bobok – Sabtu, 30 November 2013 - 16:20 WIB - Diceritakan dahulu kala, di tengah-tengah hutan yang lebat, Kalimantan, tinggal dan hidup sepasang suami istri beserta dua orang anaknya.  Kedua orang tua ini sudah berusia setengah umur, sedangkan kedua anaknya, yang sulung berusia lebih kurang dua belas tahun, dan yang bungsu berumur lebih kurang lima tahun. Keadaan hidup mereka sangat menyedihkan karena hanya hidup dari berhuma atau berladang. Meskipun tiap-tiap tahun selalu mendapat padi dari hasil humanya, namun masih selalu hidup dalam kekurangan. Keadaan semacam itu berjalan terus-menerus dari tahun ke tahun tanpa ada perubahan yang cukup berarti bagi mereka. Keadaan semacam inilah yang mempengaruhi kehidupan mereka dan anak-anak mereka tanpa ada batasnya.
Jika kedua suami istri ini pergi ke huma, maka anaknya yang sulung mengasuh adiknya di pondok. Dalam keseharian tampak nyata, bahwa kedua orang tua ini tidak menyukai atau membenci kedua orang anaknya. Kalau hendak menanak nasi, ditunggunya dahulu kedua anaknya itu tidur, dan jika sudah masak bergegas mereka makan dengan lahapnya sampai tak tersisa. Hanya kerak-kerak nasi saja yang diberikan kepada kedua anaknya .
Saat sampai pada musim membuat huma atau ladang, kedua suami istri itu pun bekerja memenebas hutan lebat. Sedang asyik mereka menebas hutan, terdengar kedua anaknya berteriak minta makan, “Ooo... pak, ooo... mak, perut kami lapar, ‘ndak makan sembela padi, ‘ndak makan sembela pulut!”. Mendengar kedua anaknya minta makan, bapaknya menyahut: “Kendia dulu... nak, etam sedang menebas huma!”.
Sejak menebas hutan sampai menebang kayu yang sudah memakan waktu hampir setengah hari itu, kedua anaknya belum juga diberi makan. Maka terdengar lagi teriakan kedua anaknya yang kelaparan, “Oo... pak, ooo... mak, perut kami lapar sekali, ‘ndak makan sembela padi, ‘ndak makan sembela pulut!”.
Mendengar itu lalu ibunya menyahut pula, “Kendia dulu nak, etam lagi nebangi kayu!” Setelah mendengar jawaban ibunya itu, maka berdiamlah kedua anaknya itu di dalam pondok.
Dari menebang kayu, menebar reba sampai membakar dan menduru, kedua anaknya selalu berteriak minta makan, tetapi selalu dijawab secara berganti-ganti oleh kedua orang tuanya. Demikian peristiwa itu terjadi terus menerus. Sejak mulai menanam, merumput, mengetam atau memotong, hingga akhirnya sampai pada menumbuk padi untuk mendapatkan beras baru, selalu terdengar suara anaknya berteriak-teriak minta makan dan selalu dijawab dengan jawaban yang sama, “etam dulu nak, karang dulu nak, nasi etam parak masak”.     
Ketika nasi sudah masak, terdengar lagi kedua anaknya berteriak minta makan. Maka dijawab oleh orang tuanya: “Baik, sekarang pergilah nak, ngalak daun pisang di pinggir huma etam, tu!”. Jawab ibunya sambil memberikan sebilah pisau kepada anaknya. Anaknya segera turun dari pondok, sambil membopong adiknya lalu mendekati kedua orang tuanya mengambil pisau untuk memotong daun pisang kemudian berjalan menuju ke sebuah huma yang kata kedua orang tuanya ada pohon pisangnya. Akan tetapi di sana ternyata tak ada pohon pisangnya. Maka anaknya bertanya lagi kepada orang tuanya, “Mana pohon pisangnya, mak?” dijawab oleh ibunya, ”Nun, jauh lagi nak! ‘tu di pinggir huma sana, kalau masih tak ada terus saja berjalan terus sampai ke hutan sana!”
Anaknya yang sulung sambil menggendong adiknya kembali ke huma bahkan terus berjalan menuju kedalam hutan sebagai mana yang diperintahkan oleh orang tuanya. Sementara kedua anaknya berjalan menuju hutan untuk mengambil daun pisang, kedua suami istri itu segera makan nasi yang telah dimasaknya tadi sampai tak tersisa. Setiba di hutan, sambil menurunkan adiknya, berkatalah si kakak kepada adiknya, “Dik, rupanya bapak dan ibu kita sudah tak suka lagi kepada kita berdua, dan tak menganggap lagi kita sebagai anaknya. Kita berdua disuruhnya mengambil daun pisang sampai jauh di hutan ini, sedang mereka berdua makan dengan lahapnya di pondok. Lebih baik kita berdua pergi saja dan tak usah kembali lagi. Biarlah kita berdua mati kelaparan di dalam hutan lebat ini dari pada kembali ke pondok”. 
Setelah berkata demikian, maka kedua kakak beradik itu berjalan menyusuri hutan tanpa tujuan. Sampai berhari-hari mereka berjalan mengikuti kemana kaki melangkah. Jika malam tiba mereka beristirahat dan tidur di sela-sela akar kayu. Jika pagi menjelang mereka kembali berjalan tanpa tujuan. Untuk bertahan hidup mereka makan pucuk-pucuk daun muda. 
Saat matahari mulai condong ke barat tanda hari mulai menjelang petang, kedua kakak beradik itu menemukan pohon jambu biji yang buahnya demikian lebat.  Karena perutnya sudah demikian lapar, maka tanpa pikir panjang lagi sang kakak sambil mengendong adiknya memanjat pohon jambu biji itu dan memetiknya. Di atas batang jambu yang cukup kuat mereka membuat para-para untuk tinggal sementara menghindari binatang buas yang berkeliaran di malam hari karena pada saat itu hari pun sudah mulai gelap. Setelah selesai membuat para-para adiknya diletakkan di atas para-para, sedangkan kain yang tadi dipakai untuk menggendong adiknya tadi digantungkan pada sebuah dahan sebagai ayunan tempat tidur adiknya.
Demikianlah keadaan kedua kakak beradik itu bertahan hidup. Jika lapar mereka makan buah jambu biji yang banyak mengelantung di sekitar mereka. Tempat tinggal mereka di atas dahan pohon jambu itu diperbaiki, diberi atap dan dinding yang terbuat dari daun-daun “betete” yang banyak berserakan di sekitar mereka.
Suatu ketika, di pagi hari yang cerah, saat sang kakak menunggui adiknya yang sedang tidur di dalam ayunan, lewat seekor babi hutan yang sedang kelaparan. Babi itu memakan jambu-jambu biji yang banyak jatuh berserakani bawah pohon jambu biji itu. Melihat peristiwa ini, timbul pikiran sang kakak untuk membunuh babi itu sebagai santapan sedap di pagi hari dengan menggunakan pisau raut yang dibawanya untuk memotong daun pisang. Sang kakak pun kemudian memetik buah jambu biji yang sudah masak, lalu dipotong-potongnya jambu biji tersebut menjadi beberap potong. Jambu-jambu biji itu kemudian dimasukkan secara berjejer ke dalam pisau rautnya yang tajam itu. Beberapa saat kemudian sang kakak menjatuhkan potongan-potongan jambu biji yang berjejer pada pisau rautnya itu ke tanah dengan sang babi hutan sedang mengendus-endus buah jambu. Melihat potongan buah jambu biji yang demikian menggiurkan dengan warna merahnya, babi hutan tersebut langsung memakan buah jambu tersebut sampai pisau rautnya pun ikut ditelannya. Begitu ditelan tentu saja pisau raut yang tajam itu menusuk dan merobek tenggorokan babi hutan yang kelaparan itu. Merasa kesakitan, babi hutan itu mengguik-guik panjang, dan berputar-putar,darah segar mengucur deras dari leher dan tenggorokannya yang robek, mengelepar jatuh dan mati saat itu juga. 
Melihat babi sudah mati, turunlah si kakak dari atas pohon jambu, mendekati babi yang sudah mati. Pisau yang ada di leher babi itu lalu dicabutnya, kemudian mulailah dia memotong-motong daging babi itu untuk disalai. Setelah segalanya selesai dikerjakan, termasuk tempat salainya pula, maka termenunglah si kakak memikirkan bagaimana cara mendapatkan api. Sejenak dia berpikir sambil mendongakkan kepalanya ke atas lalu berkata kepada adiknya yang masih ada dalam ayunan. Pada waktu itu adiknya sudah bangun dari tidurnya, “Dek..., ronoh-ronoh awak di ayunan itu, jangan bergerak-gerak yoh! Aku ndak naiki puhun kayu yang tinggi tu, melihat-lihati takut ada taus api urangnya parak”.
Setelah berkata demikian, lalu si kakak menuju ke pohon kayu yang tinggi, lalu memanjat menyusururi akar-akar yang membelit dan bergantung di pohon itu. Ia memandang ke sekelilingnya, memperhatikan kalau-kalau ada asap api yang tampak. Hatinya pun bergembira, karena dari arah barat tampak mengepul-ngepul asap api membumbung ke udara. Tanpak banyak buang waktu, ia pun turun kembali, sambil berkata dalam hatinya, “sudah tentu di dekat sini ada pondok, karena setiap ada asap api, sudah barang tentu ada penghuninya”.
Sesampai di tanah, ia pun menaiki kembali pohon jambu untuk mengambil adiknya untuk dibawa pergi mencari rumah orang yang ada asap apinya sebagaimana yang dilihatnya tadi. Sambil mendukung adiknya, ia pun berjalan menuju ke arah barat naik turun gunung, menyusuri lembah dan dataran tinggi dan dataran rendah. Dari jauh dilihatnya sebuah pondok dengan tiang yang tinggi dan besar-besar. Ia merasa heran melihat pondok besar itu, karena tidak seperti biasanya pondok yang dihuni oleh manusia biasa. Hatinya bertanya-tanya, siapakah pemilik dan penghuni pondok itu. Akan tetapi karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan api, maka diputuskan oleh kedua kakak beradik ini untuk berjalan terus menuju pondok tersebut meskipun secara sembunyi-sembunyi.
Ketika diketahui penghuni pondok itu adalah dua Uan Gergasi (raksasa) suami istri, si kakak menjadi ketakutan, badannya menggigil, jantungnya serasa copot, kakinya terasa lemah dan bergetar hampir  tak kuat lagi untuk berdiri. Dari dalam pondok besar itu terdengar suara raksasa laki-laki berkata kepada istrinya, “Grrr... hmmm, nyam, nyam, nyam, ada bau manusia di dekat sini istriku! Baunya telah kucium, hmmm... grrr... dan kita harus hati-hati istriku, karena manusia umumnya licik dan sangat pintar”.
Tidak berapa lama kemudian, tampaklah kedua Uan Gergasi  suami istri itu turun dari pondoknya, untuk merampas hewan ternak manusia yang ada di sekitar kampung. Sebelum berangkat kedua Uan Gergasi itu menghitung semua harta benda yang ada di pondoknya khawatir  kalau-kalau sepeninggal mereka mencari khewan ternak ada yang mencurinya. Dari yanng besar sampai yang kecil. Bahkan kayu api pun mereka hitung juga. Setelah mereka selesai menghitung harta bendanya barulah mereka berangkat meninggalkan pondoknya dengan perasaan aman.
Sementara Uan Gergasi pergi, kedua kakak beradik yang bersembunyi di semak-semak segera mendekati pondok Uan Gergasi, lalu naik melalui tangga menuju ke dalam pondok. Tiba di muka pintu yang kebetulan tidak ditutup mereka langsung masuk menuju dapur untuk mengambil sebatang kayu api yang masih menyala dan terus kembali pulang menuju pohon jambu tempat tinggalnya.
Tiba di pohon jambu tempat tinggalnya, si kakak mendudukkan adiknya di tanah lalu menyalai daging babi dengan kayu api yang tadi dicurinya di pondok Uan Gergasi. Sedang asyik mereka makan salai daging babi, tak dinyana dan tak disangka-sangka kedua Uan Gergasi suami istri datang sambil berkata, “Grrr... hmmm..., nyammm...nyammm...nyammm..., eee... manusia, eee... halus, eee..., huaaa... ha, ha, ha, haaa..., kamu berdua akan kami makan, nyammm, nyammm... kamu telah mencuri kayu api di pondok kami...!!!”
Mendengar kata-kata dan ancaman suami istri Uan Gergasi yang laksana guntur di siang hari, menggigillah tubuh kedua kakak beradik itu ketakutan, dan berkata hiba memohon ampun, “Oh, Uan Gergasi berdua, ampunilah kami, jangan makan kami, sebab tubuh kami terlalu kecil dan tidak akan membuat kenyang Uan Gergasi berdua”.
Mendengar penuturan kakak beradik itu, Uan Gergasi laki-laki berkata, “Grrr..., kamu betul juga. Hmmm... eee... baiklah, kamu berdua masih kuampuni, tetapi musti ada penggantinya, hmmm... glek, glek, glek... nyammm, nyammm... Oya, salai babi ini kuambil semuanya... grrr... glek, glek, glek!”
“Baiklah kakek dan nenek Uan Gergasi, tapi tinggalkanlah barang sepotong untuk makan kami berdua!” demikian pinta kakak beradik dengan kata-kata dan tubuh yang masih menggigil ketakutan.
Sepeninggal kedua Uan Gerdasi, si kakak mencari akal bagaimana caranya agar bisa mengambil kembali daging babi yang sudah dirampas  oleh suami istri Uan Gergasi itu. Ketika malam tiba, maka kedua kakak beradik itu mendatangi pondok kediaman Uan Gergasi. Setiba di sana lalu keduanya bersembunyi di bawah kolong pondok itu sambil mencari akal bagaimana cara menaiki tangga dan masuk ke dalam  pondok Uan Gergasi. Saat mereka berpikir keras mencari cara masuk ke dalam pondok, tiba-tiba terdengar suara istri Uan Gergasi berbicara kepada suaminya, “Etam ni leh... tubuh etam besar panggar, apa jua ndik ada etam takuti. Jadi etam ini ndik ada nya dapat berani melawan etam. Dada etam aja tujuh bidas, tinggi etam tujuh depa, mitu jua dengan jeriji tangan etam, tegak pisang kampar. Adakah lagi ya dapat mengalahkan etam, dan amun nya ada, coba hak padahi aku, kan nyaman ku tahu”.
“Wah,etam ndik ada nya ngalahkan, baik manusia maupun binatang-binatang hutan, biar macam apa jua bentongnya, tapi ada sebuting maha nya etam takuti. Aku ndik kehemadahi awak tu, takut kendia didengar oleh manusia. Amun didengarnya, ceh... mati hak etam, ini hak nya benar-benar etam takuti tu”.
Istrinya mendesak terus agar kepadanya diberitahukan apa yang sebenar-benarnya ditakuti itu. Oleh karena terus didesak, maka suaminya memberitahukan, “Baik hak, kupadahi awak, tapi hawas, jangan sampai didengar oleh manusia, sebab beberapa hari ini, awak sendiri dah tahu, petongot api etam dicuri oleh manusia, untung etam dapat ngalaknya”.
“Jadi apahak nya etam takuti itu, padahi hak aku, sebab ndik ada jua manusia nya kehe datang-datang tengah malam mendengar etam ncarang ni,” ujar istrinya pula. Suaminya terdiam sebentar, lalu berkata, “Tahu awak apa nya etam takuti ‘tu”.
“Ndik tahu,“ ujar istrinya. Kemudian suaminya memberitahukan, ujarnya, “Nya etam takuti, sebuting maha, yaitu hantu Ting Ting Uwit. Hantu ini besar mandik, halus mandik, tapi dapat membunuh etam nya besar panggar ni. Untuk nyuruhnya lari amun nya ada bebunyi, etam tebaki dengan tumpi besar lewang, makanya ‘tu apa sebabnya awak kusuruh  bersedia tumpi itu”.
“Macam apa bunyinya?” tanya istrinya pula. “Hah... awak ni, terus-terusan minta dipadahi”, ujar suaminya agak marah. “Kendia tu kupadahi awak, didengar oleh manusia, nah...alamat etam ndak mati. Tapi supaya awak tahu, bunyinya tegak ini: TingtingUwit, tendak papan tembus, tendak dasar tembus, tendak tikar tembus, tendak burit Uan Gergasilaki-bini”.
Setelah mengetahui apa yang mereka takuti itu, istrinya pun terdiam tanpa berkata-kata lagi, takut kepada manusia kalau rahasia mereka ini sampai diketahuinya. Padahal pembicaraan Uan Gwegasi suami istri itu, jelas didengar oleh kedua kakak beradik yang bersembunyi di bawah pondok itu. Kini tahulah mereka, bahwa Uan Gergasi itu takut kepada hantu Tingting Uwit.  Bagaimana macam dan rupa hantu itu, mereka sendirri belum tahu, tapi yang nyata sekarang mereka harus memperdayakan kedua Uan Gergasi suami istri itu. Saat hari sudah jauh malam, kakak beradik itu pun kembali pulang ke tempat mereka di pohon jambu.
Pada keesokan malamnya, kedua kakak beradik pergi lagi dan bersembunyi di bawah pondok Uan Gergasi. Mereka menanti saat tengah malam, agar mereka dapat melaksanakan rencananya yang telah disusun pada siang tadi. Ketika terdengar suara burung hantu tanda hari sudah menjelang tengah malam, maka si kakak melaksanakan apa yang sudah direncanakannya. Bersamaan dengan terdengarnya suara burung hantu yang kedua kalinya, si kakak meniru suara bunyi hantu Tinting Uwit, demikian bunyinya, 
“Tinting Uwit, Uwit,
tendak papan tembus,
tendak dasar tembus,
tendak tikar tembus,
tendak burit Uan Gergasi
laki bini!”
Uan Gergasi yang hendak tidur mendengar suara yang berbunyi di bawah pondok mereka. Suara hiruk pikuk terdengar di dalam pondok itu, dan akhirnya kedua Uan Gergasi itu bersembunyi di dalam gulungan tikar. Tetapi tidak lama kemudian, terdengar bunyi burung hantu itu, Ting, Ting, Uwit, tendak papan tembus, tendak dasar tembus, tendak tikar tembus, tendak burit Uan Gergasi laki-bini”.
Nah..., inilah kataku tadi, engkau suka usilan bertanya tentang hantu Tingting Uwit,” ujar suaminya sedikit marah kepada istrinya. “Lekas, engkau ambil dan lempar dengan tumpi itu, supaya hantu Tingting Uwit itu lari.”
Istri Uan Gergasi itu segera melaksanakan perintah suaminya. Sekalipun dia dalam ketakutan yang teramat sangat, dilemparnya juga tumpi sebesar nyiru itu ke tanah tempat suara hantu Tingting Uwit. Tumpi itu tepat jatuh di dekat kedua kakak beradik bersembunyi, dan pada saat itu pula tumpi itu lalu diambil oleh si kakak dan dibawa pulang ketempatnya di pohon jambu.
Berhasil menkut-nakuti Uan Gergasi dengan suara yang menyerupai suara hantu Tingting Uwit, mereka telah mendapat makanan dari kerja akal mereka.  Dan, jika tumpi itu telah habis, maka mereka pun kembali datang ke pondok Uan Gergasi dengan menakut-nakuti mereka dengan suara hantu Tingting Uwit. Begitu seterusnya.
Suatu ketika si kakak beradik berencana akan membunuh suami istri Uan Gergasi. Maka dipasanglah oleh si kakak sebatang bambu yang ujungnya sudah diruncingkan. Tepat tengah malam, maka bersamaan dengan suara burung hantu yang kebetulan berbunyi, maka terdengan suara, “Ting, ting, Uwit, tendak papan tembus, tendak dasar tembus, tendak tikar tembus, tendak burit Uan Gergasi laki-bini sampai mati”.
Mendengar suara hantu Tingting Uwit itu berbunyi dari bawah pondok mereka, disuruhnya pula istrinya melemparkan tumpi untuk memburu hantu Tingting Uwit. Tetapi sebelum istrinya pergi mengambil tumpi tersebut, terdengar pula suara, “Ting, ting... Uwit, tumpinya ndik nyaman, biar  Uan Gergasi suami istri kutelan.”
Mendengar suara hantu Tingting Uwit yang terakhir ini, bertambah takutlah kedua Uan Gergasi suami istri itu. “Wah... celaka kita sekarang, “ ujar Uan Gergasi itu kepada istrinya.” Tumpi kita dikatakan tidak enak, lebih baik kita lari saja, dan kita berdua akan ditelannya. Dar ipada kita berdua mati ditelan hantu Tingting Uwit itu, lebih baik kita lari saja, dengan melompat dari jendela pondok ini. Sudah pasti hantu Tingting Uwit ini akan naik ke pondok kita.”
Tanpa pikir panjang lagi, dipengaruhi perasaan takut, sambil masih bergulung dalam tikar, keduanya lalu melompat dari jendela. Malang tak dapat diraih, kedua Uan Gergasi itu jatuh ke tanah, tertusuk bambu yang ujungnya sudah diruncingkan yang tadi dipasang oleh kakak beradik itu. Dan seketika itu pula kedua Uan Gergasi itu tewas karena tubuhnya tertembus bambu runcing. Tamatlah riwayat Uan Gergasi suami istri yang suka mengganggu manusia.
Setelah melihat Uan Gergasi tewas oleh bambu runcing yang dipasangnya itu, kedua kakak beradik itu naik ke atas pondok. Sesampai di atas pondok mereka mencari tempat untuk merebahkan badan mereka tertidur sampai pulas benar. Saat matahari terbit mereka terbangun karena adanya suara gaduh di dalam pondok itu. Mereka mencari dari mana asalnya sumber suara gaduh itu. Ketika mereka membuka pintu salah satu kamar, alangkah terkejutnya mereka menyaksikan apa yang nampak di depan mereka. Di dalam kamar besar yang layaknya seperti penjara itu, mereka menyaksikan berpuluh-puluh manusia yang kurus kering bagaikan mayat hidup. Tubuhnya sudah tidak sempurna lagi, ada yang matanya tinggal satu, tangannya hanya sebelah dan lain sebagainya.
Demi melihat keadaan seperti itu, timbullah perasaan iba sang kedua kakak beradik itu. Mereka semua lalu diberi makanan secukupnya serta mengobati semua yang luka. Setelah kesehatan mereka pulih kembali, maka orang-orang itu semuanya disuruh pulang ke tempat mereka masing-masing dengan membawa bekal dari  pondok Uan Gergasi yang masih tersisa.
Kini tinggallah kedua kakak beradik itu di dalam pondok Uan Gergasi dengan tentram tanpa harus takut diganggu karena Uan Gergasi sudah tewas. Pada hari-hari berikutnya kedua kakak beradik itu memeriksa ke setiap sudut-sudut rumah, dan membersihkan rumah tersebut dari benda-benda yang membuat kotor rumah tersebut. Bermacam-macam keanehan ternyata ditemukan, oleh kedua kakak beradik itu lalu dimusnahkan. Dalam rumah itu terdapat pula berpuluh-puluh tempayan berisikan berupa-rupa beras, beras biasa, beras pulut, sembela padi, dan sembela pulut. Di antaranya ada pula yang berisikan pekasam, semacam wadi. Ada pekasam babi, rusa, lembu, dan lain-lainnya. Kemudian oleh kedua kakak beradik itu, rumah Uan Gergasi itu diubah sesuai ukuran dan selera si kakak beradik.
Demikianlah keadaan kedua kakak beradik itu, dari hari ke hari, dari pekan ke pekan, dan dari bulan ke bulan hingga tahun ke tahun, keadaan kedua kakak beradik itu berubah dan tubuhnya semakin membesar  sesuai perkembangan usia mereka. Adiknya sudah bisa membantu pekerjaan kakaknya.
Pada suatu hari berkatalah si kakak kepada adiknya, “Dik..., jika persediaan makanan dalam pondok peninggalan Uan Gergasi kita makan terus-menerus tentu akan habis, sedangkan kita harus terus hidup. Oleh karena itu menurut pendapat kakak sebaiknya kita berdua membuka ladang, berhuma, dan kita olah menurut kemampuan kita. Biar kecil asal kita mengerjakannya dengan tekun, ulet dan rajin berkerja keras tentu akan menghasilkan yang bisa kita makan untuk kelangsungan hidup kita”.  Mendengarkan kakaknya berkata demikian sang adik menjawab, “Baiklah kak, tapi aku ikut pula menebas pepohonan menurut kekuatanku.”
Akhirnya kedua kakak beradik itu bermupakat untuk membuka ladang tepat pada musim ladang. Setelah tiba waktunya musim ladang, mulailah mereka berkerja membuka ladang. Dari pagi hingga menjelang petang mereka melakukannya dengan semangat kerja yang demikian tinggi. Menebang pohon-pohon, membakar semak belukar, menduru, sampai pada akhirnya terbukalah ladang yang siap untukmereka garap. Ketika sampai pada hari yang menurut mereka baik untuk menanam padi maka mereka pun mulai menanami ladang mereka dengan bibit-bit padi yang sebelumnya sudah mereka pilih dan kumpulkan. Luas ladang mereka tidak terlalu luas, dibuat dengan bentuk melebar mengelilingi sebuah tunggul kayu besar yang terdapat di situ. Benihnya hanya sebanyak  1 kulak atau 2 kg. Demikian keadaan ladang mereka dibuat menurut kemampuan mereka yang masih kanak-kanak. Setelah padinya tumbuh, mereka pelihara dengan penuh semangat dan penuh kehati-hatian. Rumput-rumput yang mengelilingi padi mereka bersihkan.
Setelah musim merumput berlalu, tibalah masa musim panen padi. Setiap sore dibuatlah api di sekitar ladang itu guna memburu segala pemangsa dan hama-hama padi yang akan merusak buah padi yang mulai keluar. Pada akhirnya buah padi itu mulai masak dan akan mulai dipotong. Sebelum turun memotong atau mengetam padi, ditepungtawarilah padi menurut pemikiran kedua kakak beradik itu, selanjutnya bekerjalah mereka memetik hasil jerih payah mereka selama ini.
Suatu ketika saat kakak beradik itu sedang asyik mengetam padi, tiba-tiba datang seorang perempuan tua dengan membawa sebuah bakul tempat padi. Perempuan tua itu mendekati kedua kakak- beradik lalu berkata, “Cu..., dapatkah kita berdua ni mbawak aku ngetam. Aku ndak  umpat urang di dinun..., nun di sepihak gunung situ, urang nindak mbawak. Kan upahku, ‘tu barang aja sepemberi cucu berdua. Aku ndik milih.”
Mendengar permintaan perempuan tua yang menghiba-hiba itu, timbul rasa belas kasihan di hati kedua kakak-beradik, lalu si kakak menjawab, “Siannya kita... nek, culas benehan urang didinun, mandik ndak mbawak nenek. Baik hak kita umpat ngetam padi di humaku nya sedikit ni, biar nya cepat pupus.”
Demikianlah mereka bertiga mengetam padi di ladang yang kecil itu, sambil berbicara dan bersenda gurau. Dalam pada itu, kedua kakak-beradik kadang-kadang merasa heran mendengar perempuan tua itu berkata-kata sendirian seperti orang yang membaca mantra, tetapi mereka hanya berdiam diri saja. Mereka terus bekerja, mengetam padi tanpa menghiraukan kelakuan perempuan tua tersebut.
Sudah satu kerangking (tempat padi) yang penuh, namun padi masih banyak yang belum diketam. Ketam /dipotong arah di muka, maka keluar pula buah padi yang lebat dan masak, pada bekas tangkai padi yang dipotong, dan bila diketam di arah belakang, maka berbuah pula dengan lebatnya pada tangkai yang bekas dipotong tadi. Kedua kakak beradik itu merasa heran atas kejadian itu, namun tidak dapat memikirkan lebih lanjut lagi, karena bakul besar tempat menaruh padi yang sudah diketam sudah penuh dan harus dibawa ke pondok mereka untuk disimpan dalam kerangking padi. Demikianlah, sudah seharian mereka bertiga memotong padi mengelilingi tunggul kayu besar yang ada di tengah-tengah ladang, seolah-olah padi itu tak ada habis-habisnya. Dari dapur sampai ke tengah pondok mereka, sudah penuh sesak dengan timbunan padi yang baru dipotong. Akhirnya kedua kakak beradik itu menyerah dan kewalahan dibuatnya, lalu berkata kepada perempuan tua itu, “Nek..., hari dah merian, baik hak etam berenti dulu, biar empai aja etam mupuskannya tinggal sedikit ‘tu.”
Perempuan tua itu lalu menjawab, “Amun cucuku bedua ndak mulang, mulang hak bedulu, biar ku ngehabisi ngetamnya sedikit ‘ni, sebab amun dipucahkan kemalaman, empai ndik ada lagi padi ni.”
Setelah berkata demikian, perempuan tua itu pun terus memotong padi yang masih bersisa sedikit itu, dan tidak lama kemudian tepat matahari akan terbenam, selesailah pekerjaannya. Kemudian mereka bertiga pulang ke pondok, dan terus pergi mandi untuk membersihkan badan ke sungai. Sekembali dari sungai, mereka makan, makanan yang sejak siang tadi sudah tersedia. Mereka bertiga makan dengan asyiknya, karena seharian bekerja tanpa menghiraukan makan dan minum. Selesai makan mereka duduk beristirahat di tengah pondok sambil bercakap-cakap. Perempuan tua itu berkata, “Cu..., ndik kusangka etam banyak boleh padi hari ini. Liat hak, tulak dalam kerangking, sampai ke dapur penuh sesak sampai pulang e tengah pondok. Huma cucuku hanya mengelilingi tunggur kayu pore ’tu maha, ndik tama diakal macam ni banyak bolehannya. Biasanya amun tegak ini banyak bolehan, paling sedikit berpuluh-puluh paso binihannya. Makanya... cu, aku madahi awak dua-diangsanak, amun cucuku ndak mulai nebas huma ‘tu, odah timbang mana ndak mulai, cucuku bersehkan dulu sedepa segi empat, lalu di situ tarohi tigu setulang di atas telisak, keripit sirih lipat selimpat, dian lilin matu dan tepung tawar, lalu cucuku ncarang, bermemang, artinya minta supaya segala jin tanh, kayu, jin hutan dan sekalian jin, jauh dari situ, supaya cucuku jangan peramisan. Sudah ‘tu betuhing cucuku tiga hari, dan baru mulai nebas pada hari keempatnya, dimulai arah matahari hidup ke matahari padam. Jika sudah habis cucuku nebas, nebang, njemor reba lalu nunu, dan waktu ndak mulai ngasak padi, kira-kira di tengah huma, cucuku bersehkan tanah sedepa segi empat memanjang, awak lentaki dipinggirannya kayu, anak-anak kayu aja, polah tegak kapal ‘tu, lalu di dalamnya awak tanami serai, kunyit, lengkuas. Di buncu empat, cucuku tajaki daun lenjuang, tegak bendera. Lalu cucuku alak buluh seruas, dan diisi air, dan dirikan/tanjakkan, di dalam, parak segala lengkuas, kunyit, dan serai tadi. Parak dengan odah itu, cucuku hidupi api, jangan sampai padam. Sebab amun urang ndak pegi betulak tu musti bebekal. Inilah maksud syarat-syarat tadi. Hambat-hambat, ya..., hambat benar, amun kawannya sebelum burung-burung, atau binatang-binatang lainnya mingat, bakul odah binihan (bibit padi) sudah dibawa turun keodah pembinihan ‘tu, bebaya, dengan dibawak jua, tigu, sirih nya sudah dipolah keripit dilipat selimpat, diam dan tepung tawar. Sementara nunggui itu, awak bememang, artinya nyruh segala jin bejauh, jangan parak. Sudah ‘tu cucuku bememang dan tepung tawari binih padinya dalam bakul tadi, macam ni hak maksudnya; segala bekalan-bekalan nya ndak dibawa berlayar ni sudah cukup, api, air, padi, tigu, kripit sirih lipat selimpat, dian, serai, kunyit, lengkuas. Belayar hak kita, amun sudah genap enam bulan kita balik mulang, bawaki kawan-kawan kita nya sesat di jalanan atau nya mandik beodah, macam ‘tu tegak memangnya.  Cucuku nungguinya du sampai timbul matahari, dan sebelumnya polahkan hak lubang asakan tujuh buting, lalu awak puruki padi kedalamnya dan ditepungtawari pulang.  Dah urang kedatangan ndak nulungi ngasak baru hak odah pembinihan ‘tu cucuku tinggalkan, dan hati-hati jangan sampai bakul pembinihan itu tumpah, sebab itu tuhing besar.  Sudah sampai waktunya awak... cu, ndak ngetam padi ‘tu sebelumnya, awak mewangi pulang, dan tepung tawari, macamni pulang bunyinya, “Kita datang berlayar lawasnya enam bulan ‘tu, dan tepung tawari kami sambut dengan gembira, dan segala idah awak itu sudah kami polahkan dengan segala kawan-kawan awak.”
Sudah itu lalu hak tepung tawari, pik kan kepadi ‘tu, lalu hak, padi Nya dalam odah pembinihan tujuh buting lubang ‘tu awak ketam, dan awak ikat, lalu dibawak ulang dan ditaroh di dalam kerangkeng padi,  digantong di  tengah-tengahnya.  Sesudahnya awak sedikan... cu, segala tepung tawar tegak dipembinihan  ‘tu dan awak memangi hak, macam awak memang pulang, tegak ni, “Ni..., odah kita nya kami sediakan tu, ni hak odah kita tinggal dengan kawan-kawan kita, bekumpulhak baik-baik.”
Lalu betuhing hak cucuku tiga hari. Sehabisnya tu mulai mulai hak ngetam. Di dalam cucuku ngetam padi tu, tuhing besebut nya ceroboh-cerobo, sebab semangat padi ‘tu supan dan benci dengan carangan-carangan yang tefak itu. Lamun sehari tu cucu ndik habis ngetam, waktu ndak berenti ‘tu, awak ikat hak daun padinya ada di pembinihan, kan saratnya supaya semengat padi tu jangan terbang.  Empainya, waktu ‘ndak ngetam lagi, ikatan daun padi ‘tu dibuka pulang. Demikian hak, sampai habis padi di tanah diketam dan naik ke rumah.
Sesudah padi naik ke rumah, jangan dulu awak apai-apai. Awak polahkan dulu beras baru di jerang, dan sehari-harian itu awak ‘mberi makan batu besi dengan bememang pulang, karena sebelum tam nya  bekerja, maka batu dengan besilah nya bekerja pereh.`lamun ‘ndik  awak beri makan, takut kendi awak dilukainya. Inilah syaratnya dan maksudnya ‘tu. Di arak kerangkeng padi, awak timbuni lampu, jangan sampai padam, apabila malam awak tidur arak situ, biasanya ‘tu nyawak, amun urang ‘tu  keduluran, ‘ndengar tu suara semangat padi dalam kerangkeng padi tu ‘ncarang, betanya dengan sesamanya padi. Itu sebabnya, kalau cucuku perhatikan benehan, kelihatan hak padi ‘tu becampur dengan padi lain. Itu hak kawan-kawan nya sesat ngemambah madik bedah ‘tu dibawa’i oleh semangat padi nya tam tanam padi.
Jadi tuak mulai cucuku ngetam sampai habis naik ke rumah, betuhing pulang hak cucuku tiga hari. Sudah ‘tu mana uluk cucuku. Na..., ini hak cu, nya disebut urang ‘tu adat urun dan naikkan padi.
Sebuting... cu, awak ingati beneh, bahwa semangat padi dijaga dan dipelihara oleh Puan Tahun. Lamun urang waktu olah adat urun dan naikkan padi itu telanggar tuhingnya, maka humanya banyak dirusakkan mangsa. Adanya dirusakkan oleh nangau, ketuang, adanya dimakan ulat, ada lagi nya dilesai bai. Huma urang tu , alamat ‘ndik tahu ngerjakan sama sekali adat urun dan naikkan padi tu. Kebanyakan urang tegak itu nya selalu dibenci oleh Puan Tahun tu.  Biar macam apa jua nya behuma, ya... boleh jua hak nya tu.  Tapi ndik seberapa, belum sampai ketampusan.
Jadi amun molah huma itu, biar hanya tepung tawar aja dikerjakan, itu gin jadi, asal ada adat-istiadatnya. Mitu jua amun cucuku ‘ndak Nuuk padi, sebelum awak Nuuk, lesongnya awak bersehkan dulu, kiwa-kanan lesong ‘tu awak lapiki tikar supaya padinya jangan besimpur sampai bepeas di tanah, sebab nyawa, semangat padi ‘tu nyumpah, kita polah tegak tu. Habis Nuuk lesongnya awak telongkopkan baik-baik, jangan ditelentangkan. Lesong Noya hampa jangan ditutuki dengan helu, sebab kepala Puan Tahun ‘tu pening mendengar suara lesong nya ditutuki madik ada isinnya tu. Dan lagi madik Kwa, sebab takut kendi benar-benar Nuuk lesong hampa, ya... maksudnya kelaparan madik bepadi. Dada lesong jangan ditendak dengan helu, sebab itu adalah telapak tangan Puan Tahun.
Waktu cucuku ngaut beras dipeberasan, duduklah baik-baik betimbuh, dan waktu cucuku ngautnya ke dalam, induk tangan jangan ditamakan dalam eteran (penaut beras dari tempurung kelapa/literan beras), sebab induk tangan itu, bunyi urang jua adalah tari Hantu Haus. Habis awak maut beras, eterannya awak isi beras dan dipendam dalam beras di peberasan. Maksudnya supaya peberasan tam tu selalu berisi.
Pada waktu hari baik, bulan baik, apalagi sehabis urang ngetam, awak polahkan keripit silih lipit selimpat, rokoknya, Ian lilin matu, awak tarohi di dapur, di peberasan, di gentong air, di lawang hadapan dan belakang serta di tengah-tengah rumah. Diannya awak timbun nyalakan. Maksudnya cu,  untuk memburu Hantu Haus. Jadi di mana idah keripit sirih dengan dian itu, taroh, di situlah idah Hantu Haus besaran.
Jadi apa yang kupadahi dengan kita bedua di angsannak ni, ingat-ingati benar, sebab itu segalanya adalah untuk hidup kita baik. Iiii... cu, ‘ndik kerasan etam ‘ncarang ni sampai subuh, jadi aku  ‘ndak ulang hak keodahku.”
Setelah berkata demikian maka perempuan tua itu pun bangkit berdiri hendak turun ke tanah, tetapi ditahan oleh kedua kakak-beradik, ujarnya, “Kendia dulu kita ulang, Nek! Timbulkan matahari dulu, upah kita ngetam belum kualakkan.”
Tetapi apa kata perempuan tua itu ketika ia sudah ada di tanah, “Ndik usah... cu, ndik usah aku awak beri padiku gin banyak di pondokku. Tapi tahukah kita beda siapa aku sebenarnya? Tahukah kita beda di angsanak, siapa sebenarnya diri cucuku berdua? Amun kita belum tahu siapa yang kusebut tadi, baiklah sekarang kita bedua  kupadahi, supaya kita beda tahu yang sebenarnya. Kumulai dulu dengan diri mekbapak awak, baru diri awak beda dan baru diriku sendiri.”
Maka perempuan tua itu mulai menjelaskan, “Mek-bapakawak-tu adalah penjelmaan dari Hantu Haus. Lir hak, tiap-tiapnya behuma madik tahu mungkar, karena madik ada tahu mengerjakan adat-adat nebas huma, maenaikkan dan menurunkan padi. Makan madik bertakar, hentam terus madik bekerekaatan. Bunyi urang jua berus, karena inilah sifat utama Hantu Haus itu. Dan siapa sebenarnya cucuku berdua di angsana ini? Amun cucuku belum mengetahuinya, sekarang kupadahi, bahwa madik setahu cucuku, diri kita berdua ‘tu telah dirasoki oleh semangat padi. Itu sebabnya, tuak mulai mek dengan bapak awak nebas huma sampai mengetam padi, cucuku berdua selalu minta makan Sembela padi dengan Sembela pulut. Cucuku berdua mandik diberinya makan nasi beras baru, tegak urang`nya ‘mberi makan “Semengat padi”, jika sudah habis ngetam padi baru. Tapi cucuku berdua disuruhnya mencari daun pisang ke dalam hutan. Itu hanya sebabnya maha, sebenarnya Hantu Haus itu madik dapat berkumpul dengan semangat padi, jika beparakan dan berkumpul, musti sudah semangat padi itu lari, biarpun cucuku berdua madik disuruhnya mencari daun pisang, dan kehabisannya cucuku berdua sesat ke dalam hutan, sampai dapat membunuh bai dengan Uan Gergasi. Itu segalanya adalah membunuh kejahatan yang akan merusak kehidupan manusia untuk mengerjakan kebaikan. Jadi...cu, ingati hak segala buku pesanku, jika cucuku berdua ‘ndak olah huma.
Nah... sekarang, kuberitahukan siapa aku sebenarnya. Aku inilah yang disebut-sebut urang amun ‘ndak olah huma, adat urun dan naikkan padi. Aku inilah yang dinamai “PUAN TAHUN”
Setelah berkata demikian, perempuan tua itu pun lenyap dari pandangan mata, hilang tanpa bekas. Kedua kakak-beradik hanya melongok keheranan setelah mengetahui siapa sebenarnya perempuan tua yang menolong dan memberikan nasihat-nasehat kepada diri mereka berdua.
Demikianlah mereka berdua sejak saat itu, jika akan mengerjakan ladang, menanam dan memotong padi, selalu patuh menjalani dan melaksanakannya  berdasarkan petunjuk, nasihat, dan petuah-petuah yang telah diberikan oleh Puan Tahun. Dan petuah-petuah itu secara turun-temurun diwariskan oleh mereka ke anak dan cucu mereka, begitula seterusnya sampai sekarang.
Sampai sekarang masyarakat di pedalaman Mahakan, terutama suku Tunjung, Benuaq, dan suku Bahau masih tebal kepercayaannya terhadap Puan Tahun tersebut dalam mengerjakan adat membuka ladang, menanam dan memotong padi. Jika sudah habis waktu menugal padi, mereka mengadakan keramaian dengan mengadakan bermacam-macam tarian dan acara mana suka, dengan maksud untuk memburu, mengusir Hantu Haus yang selalu akan merusak kehidupan tanaman padi. Oleh suku Bahau menyebutnya upacara Hudo, sampai sekarang. (SP091257)
Referensi:
Kumpulan Cerita Rakyat Kutai, Depdikbud 1979
Posted:
Sita Rose di Pangarakan, Bogor

Blog Sita: "SASTRA NUSANTARA": Cerita Rakyat Kutai: "KISAH PUAN TAHUN" Dihimpun O...: Image "Puan Tahun" (Foto: SP091257) Nina Bobok – Sabtu, 30 November 2013 - 16:20 WIB - Diceritakan dahulu kala, di te...