Minggu, 06 Oktober 2013

Asal Nama Pulau Nusa Kambangan Diceritakan Oleh Kak Sita

Peta Lokasi Pulau Nusa Kambangan

Blog Sita Rose - Minggu, 06 Oktober 2013 - Adik-adik, selamat jumpa lagi dengan kak Sita! Kali ini kak Sita akan bercerita tentang  asal nama sebuah pulau yang lokasinya berada di tengah laut selatan  daerah Cilacap, Jawa Tengah.  Pulau ini pun sudah sangat terkenal keberadaannya. Di sana terdapat sebuah rumah tahanan atau penjara  yang diperuntukkan khusus bagi para penjahat kelas berat.  Pulau itu bernama “Nusa Kambangan”.
Lapaz di Pulau Nusa Kambangan
Adik-adik, di sekolah, guru sejarah kalian tentu sudah memberikan materi pelajaran tentang kerajaan-kerajan yang memerintah di daerah Jawa Tengah yang salah satunya adalah kerajaan Kediri.   Nah, adik-adik! Dari sinilah cerita ini berawal.
Ketika Kerajaan Kediri diperintah oleh seorang raja bernama Prabu Aji Pamoso, ada seorang resi yang sangat terkenal bernama Resi Kano. Dia sangat mumpuni, digdaya, sakti mandraguna. Oleh karena kesaktian yang dimiliki Resi Kano inilah membuat  Prabu Aji Pamoso justru merasa khawatir, dan was-was. Ia tak mau walau satu orang pun di kerajaan Kediri ada yang bisa melampaui kesaktiannya. Menurutnya itu bisa akan membahayakan posisi, dan kewibawaan dirinya apabila  selaku raja penguasa merosot jatuh turun kewibawaannya di mata rakyat Kediri yang diperintahnya.
Menyadari  posisinya selaku raja Kediri merasa terancam, maka dicarilah satu cara untuk mengusir dan membunuh Resi Kano. Maka diperintahkan segenap prajurit dan para senopati handal untuk mengusir Resi Kano dari Kerajaan Kediri kemudian membunuhnya. Sebagai seorang resi yang mumpuni, yang memiliki kemampuan linuih, Resi Kano mengetahui rencana jahat dan licik Prabu Aji Pamoso. Secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi Resi Kano pun pergi meninggalkan Kediri menuju suatu tempat sepi dan tersembunyi di daerah pesisir selatan Pulau Jawa, daerah Cilacap. Di tempat itu ia mencari lokasi tempat untuk bersamadi dan bertapa.
Rupanya kepergian Resi Kano dengan secara sembunyi-sembunyi telah diketahui Prabu Aji Pamoso. Segera ia pun memerintahkan kepada segenap prajurit dan senopati handalnya untuk mengejar dan memburu terus Resi Kano sampai berhasil ditangkap atau dibunuh.  Suatu ketika keberadaan Resi Kano dapat dijumpainya. Maka terjadilah perkelahian yang tak seimbang, Resi Kano dikeroyok oleh para prajurit dan dua orang senopati Kediri. Akan tetapi dengan kesaktian yang dimilikinya para prajurit dan salah seorang senopati Kediri dapat dikalahkannya hingga tewas. Melihat kenyataan Resi Kano bukanlah tandingannya, sebagian prajurit dan salah seorang senopati kembali ke Kediri dengan membawa kekalahan yang sangat memalukan. Dan peristiwa itu dilaporkan kepada Prabu Aji Pamoso. Mendengar berita kekalahan tersebut, Prabu Aji Pamoso menjadi sangat kecewa, marah, berang bukan alang kepalang. Maka berkatalah ia kepada senopatinya:
“Baiklah jika demikian! Senopati, siapkan sepuluh orang prajurit handal untuk membantu menangkap dan membunuh Resi Kano. Kali ini aku sendiri yang akan memimpin penangkapan dan pengejaran itu”.
“Baik, paduka! Segera hamba laksanaka!” Maka oleh senopati dipilihlah sepuluh prajurit pilihan yang tingkat kemampuan bela dirinya di atas rata-rata prajurit yang lain.
Singkat cerita,  maka  berangkatlah  sepuluh  orang  prajurit  pilihan  dan  seorang  senopati  yang dipimpin sendiri oleh Prabu Aji Pamoso  menuju tempat persembunyian Resi Kano di pesisir selatan dekat dengan Cilacap.  Sesampai di tempat persembunyian Resi Kano, Prabu Aji Pamoso melihat sendiri Resi Kano sedang bersamadi dengan tubuh pantang bergerak.  Resi Kano sesungguhnya sudah mengetahui kehadiran Prabu Aji Pamoso dan segenap prajuritnya. Akan tetapi ia terus melanjutkan tapa bratanya karena ia sudah terlanjur melakukan samadi tanpa boleh bergerak sebelum samadi itu selesai tahap demi tahap dilakukan seluruhnya. Ia hanya bisa berserah diri  kepada Tuhan dan merapal aji kekebalan tubuhnya sebagai penjagaan pamungkasnya.
Sementara itu Prabu Aji Pamoso dengan para prajurit dan senopati yang mengikutinya dari belakang terus mengendap-endap  mendekati tubuh Resi Kano yang masih bersamadi tanpa mengindahkan keadaan sekelilingnya itu. Pada satu kesempatan Prabu Aji Pamoso mencabut keris sakti ‘Kyai Kubur  Sayuta Wisa’ andalannya yang tak pernah gagal dalam membunuh musuh-musuhnya dalam setiap pertempuran. Keris sakti itu dihunuskan dan dihujamkan ke tubuh Resi Kano dengan sebatnya. Ia tak mau menemui kegagalan lagi  karena Resi Kano memang dikenalnya sebagai seorang resi yang sangat linuih. Jika Resi Kano tidak dalam keadaan bersamadi pantang tubuh bergerak tentu ia tak akan berhasil membunuh Resi Kano.
Pada tusukan pertama, dan kedua tubuh Resi Kano tak luka sedikitpun.  Keris sakti Kubur Sayuta Wisa itu tak bisa melukai tubuh Resi Kano yang masih dalam posisi bersamadi tanpa bergerak.  Hal ini membuat panas dan penasaran Prabu Aji Pamoso. Sejenak ia pun merapal Aji Panglebur Jagad kemudian menghujamkan kembali keris saktinya. Maka seketika itu juga mengucurlah darah segar dari dada Resi Kano yang tewas dan perlaya saat itu juga. Tak ada jeritan, tak ada erangan dari mulut Resi Kano. Bersamaan dengan tewas perlayanya jiwa Resi Kano, lenyap pula raga Resi Kano hilang tanpa bekas.  Seketika itu juga terdengar suara gemuruh angin ribut yang berhembus kencang sungguh sangat  menakutkan. Prabu Aji Pamoso segera merapal aji-aji penghilang rasa takut untuk menghilangkan gemetar tubuhnya dan rasa takut yang menghantui jiwanya.
Sejenak kemudian suara gemuruh yang menggidikkan bulu roma  itu pun reda, saat itu muncul ular besar berupa naga raksasa  mendesis-desis ingin memangsa Prabu Aji Pamoso. Karena tubuh ular yang sedemikian besar  dan suara desisnya yang demikian luar biasa menyeramkan itu, sampai-sampai ombak laut selatan pesisir  Cilacap semakin tinggi menggulung-gulung. Suaranya bergemuruh sungguh menyeramkan. Melihat keadaan semacam ini, Prabu Aji Pamoso segera mengeluarkan panah saktinya yang bernama ”Kyai Guntur Sakethi”  lalu diarahkan ke Ular besar yang mendesis-desis ingin memangsa dirinya itu. Sssssssssssuiiing... suara desingan anak panah sakti Prabu Aji Pamoso tepat mengenai dada ular raksasa yang mati seketika karena jantungnya terkena senjata panah sakti Kyai Guntur Sakethi milik Prabu Aji Pamoso. Akan tetapi terjadi keajaiban, dari tubuh ular besar yang mati terkena panah itu muncul seorang gadis layaknya putri kayangan yang cantik jelita. Ditangan kanannya memegang setangkai bunga yang indah. Putri itu berlari-lari di atas air laut sambil memanggil-manggil nama sang Prabu Aji Pamoso. Dengan kesaktiannya pula Prabu Aji Pamoso datang menghampiri Putri cantik penghuni satu-satunya pulau kecil berbatu karang itu. Sementara prajurit dan senopatinya menunggu di pesisir pantai Cilacap.
Kembang Cangkok Wijaya Kusuma
“Wahai Sang Prabu, Raja Kediri yang gagah perkasa, terima kasih atas bantuan dan pertolongan sang Prabu yang telah membebaskan aku dari kutukan. Dan, kini aku telah kembali menjadi manusia seperti ujudku semula. Sebagai balas jasa hamba kepada sang Prabu maka hamba mempersembahkan kembang  Cangkok Wijaya Kusuma ini kepada sang Prabu. Bunga ini berasal dari kayangan, dan bagi siapa saja yang memiliki bunga ini maka dia akan menurunkan raja-raja yang berkuasa di tanah Jawa. Dan, satu lagi sang Prabu! Sang Prabulah orang satu-satunya yang menjadi saksi bahwa pulau karang yang hamba tempati ini  hamba beri nama  “Nusa Kembangan”. Karena di pulau inilah hamba menyerahkan Kembang Cangkok Wijaya Kusuma kepada sang Prabu.
Setelah memberikan Kembang Cangkok Wijaya Kusuma kepada sang Prabu Aji Pamoso, Putri kayangan itu lenyap kembali ke alamnya.  Konon Putri kayangan tersebut adalah penjelmaan Nyi Ratu Kidul, penguasa laut Selatan yang di daerah Cilacap dikenal dengan nama Dewi Wasowati.
Lukisan Ratu Pantai Selatan "Nyi Roro Kidul"
Saat Prabu Aji Pamoso hendak kembali ke pantai menemui prajurit dan senopatinya dengan membawa Kembang Cangkok Wijaya Kusuma, tiba-tiba dirasakan kesaktiannya punah, ia tak bisa menyeberangi Laut Selatan dengan kedua kakinya menapak di atas air. Iapun tenggelam ke dasar laut pulau Nusa Kembangan dan tewas seketika itu juga bersama Kembang Cangkok Wijaya Kusuma pemberian dari puteri kayangan yang bebas dari kutukan. Hingga kini pulau karang itu dikenal dengan nama pulau Nusa Kambangan. (Rabu,06/10/2013SP091257)
 
Sita Blog: "NINA BOBO": Asal Nama Pulau Nusa Kambangan Diceritakan Oleh Ka...: Peta Lokasi Pulau Nusa Kambangan Blog Sita Rose - Minggu, 06 Oktober 2013 - Adik-adik, selamat jumpa lagi dengan kak Sita! Kali i...

Sabtu, 05 Oktober 2013

Pandhegan Aja "Adigang, Adigung, Adiguna, Sapa Sira Sapa Ingsun"Pandhegan Aja "Adigang, Adigung, Adiguna, Sapa Sira Sapa Ingsun"


Gunungan
www.suaramerdeka.com – Sabtu, 23 Februari 2013 | 13:10 wib - Adigang, adigung, adiguna, sapa sira sapa ingsun. Adigang adalah ’kijang’ adigung ’gajah’ dan adiguna ’ular’ ketiganya mati bersama dalam pertikaian karena kesombongan masing-masing. Pemimpin (pandhegan) yang baik menghindari sikap aji mumpung, mumpung kuwasa, tumindak nistha, seperti ungkapan Ranggawarsita dalam Serat Sabdatama.

Pimpinan jangan diserahkan kepada yang tidak mau, maupun mereka yang ambisi, karena yang berambisi umumnya memiliki motivasi lain, seperti aji mumpung. Sifat aji mumpung bertentangan dengan dharma seorang pemimpin. Ia harus rendah hati, bijak, adil dan ber budi bawa leksana. Hal itu diungkapkan oleh Ranggawarsita dalam Serat Witaradya, bahwa seorang raja yang besar, watak narendra gung binathara, mbaudhendha hanyakrawati, kutipan berikut: Dene utamaning nata, berbudi bawa laksana, lire ber budi mangkana, lila legawa ing driya, hanggung hanggeganjar saben dina, lire kang bawa laksana, hanetepi ing pangandika.

Pemimpin bangsa telah dipilih, melalui pileg dan pilpres. Siapa pun mereka pilihan bangsa. Tempat menggantungkan harapan dan masa depan yang lebih baik di bumi yang gemah ripah loh jinawi, subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinumbas, tata titi tentrem kerta raharja, dalam arti murah sandang pangan seger kuwarasan, bukan hanya slogan. Mutiara kata itu harus direalisasikan oleh mereka yang mendapatkan amanah, sebagai perwujudan lukisan negeri Amarta yang didendangkan ki dalang dalam pentas wayang. Bukan sekedar impian, dengan memanfaatkan potensi alam anugerah Allah Swt. yang membentang sepanjang khatulistiwa, dalam bentuk hutan, gunung, laut dan sungai, simpanan harta karun yang tak ternilai harganya. Semua dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat. Mereka harus bekerjasama saiyeg saekapraya membangun bangsa. Eksekutif, legislatif dan yudikatif memiliki tugas membangun negara dan bangsa. Sebagai pemimpin mereka memiliki tanggung jawab yang cukup berat. Kesejahteraan rakyat tidak bisa diwakilkan, tetapi direalisasikan. Bila wakil rakyat hidup sejahtera bukan berarti rakyat pun meraskannya.

Janji
Pemimpin harus memegang teguh janji yang diucapkan di depan rakyat. Janji adalah hutang, yang wajib dibayar. Sabda pandhita ratu salah satu falsafah Jawa dan konsep pengejawantahan janji adalah hutang, yang didukung frase ajining diri saka obahing lathi ajining sarira saka busana, aja waton omong nanging omonga nganggo wawaton, ilat ora ana balunge, esuk dhele sore tempe, mencla-mencle, bukan sikap seorang pemimpin, melainkan konsep sedikit bicara banyak bekerja yang sebaiknya dipegang teguh. Mereka dipercaya oleh rakyat. Mengembalikan kepercayaan yang hilang lebih sulit dari pada membangunnya. Falsafah Jawa mengatakan bahwa drajat, pangkat lan semat bisa oncat. Hal itu menjadi bahan pertimbangan bagi para pemimpin. Di dunia tidak ada yang langgeng. Semua serba sementara, bagaikan kilat menyambar sekejap tanpa bekas. Saat mejabat ia terhormat dan dipuja, pergantian tiba, ia dihujat dan dihina, kawan dan sahabat seakan tak mengenalnya. Ia dilupakan. Mengenaskan.

Masyarakat Jawa percaya bahwa wahyu kaprabon, dalam diri seorang pemimpin masih ada. Asal pemimpin masih sanggup memberikan pangayoman, maka rakyat akan loyal. Seorang pemimpin harus waspada. Sebab di antara punggawa ada yang mbalela, sengaja berkhianat demi jabatan yang diincarnya. Bagi masyarakat konsep ratu adil, wahyu dan pulung merupakan trilogi dalam demokrasi. Sedangkan trilogi yang dianut oleh kraton Mangkunagaran, melu handarbeni, wajib hangrukebi, mulat sarira munggengwani. Bahwa seorang pemimpin harus merasa memiliki, membela kebenaran dan mawas diri. Mau mengakui kasalahan pribadi tanpa menyalahkan orang lain.

(Eko Wahyu Budiyanto/CN37)

Pemimpin yang Seharusnya Menurut Filosofi Jawa


image
02 Oktober 2013 | 22:40 wib - KONSEP hasthabrata muncul dalam cerita pewayangan Jawa dengan lakon 'Iwahyu Makutharama' yang mengisahkan tentang pemberian wejangan (fatwa) seorang Pandita bernama Wiswamitra yang ditujukan kepada Sri Rama yang akan dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahandanya. Konon, ajaran hasthabrata tersebut selalu dipedomani untuk dijadikan fatwa terhadapputra mahkota yang akan dinobatkan menjadi raja-raja Jawa. Hasthabrata terdiri dari kata hastha yang berarti delapan dan kata brata yang berarti sifat baik.

Brata yang pertama adalah SURYA yang berarti matahari. Sifat menerangi yang dimiliki oleh matahari dalam bahasa jawa dimaknai sebagai 'gawe pepadang marang ruwet rentenging liyan' yang berarti harus mampu membantu mengatasi kesulitan atau memecahkan problem-problem yang dihadapi oleh anak buahnya.

Brata yang kedua adalah BAWANA yang berarti bumi. Bumi diibaratkan sebagai ibu pertiwi. Sebagai ibu pertiwi, bumi memiliki peran sebagai ibu, yang memiliki sifat keibuan, yang harus memelihara dan menjadi pengasuh, pemomong, dan pengayom bagi makhluk yang hidup di bumi. Implementasinya adalah kalau sanggup menjadi pemimpin harus mampu mengayomidan melindungi anak buahnya.

Brata yang ketiga adalah CANDRA yang berarti bulan. Implementasinya bagi pemimpin ialah pemimpin dalam memperlakukan anak buahnya harus dilandasi oleh aspek-aspek sosio-emosional. Pemimpin harus memperhatikan harkat dan mertabat pengikutnya sebagai sesama. Terhadap pengikutnya harus menghormati sebagai sesama manusia. Dalam konsep Jawa hal ini disebut 'nguwongke'.

Brata keempat adalah KARTIKA yang berarti bintang. Bintang dapat menggambarkan dambaan cita-cita, tumpuan harapan, sumber inspirasi. Seorang pemimpin harus memiliki cita-cita yang tinggi, berpandangan jauh kedepan, pemberi arah, sumber inspirasi, dan tumpuan harapan.

Brata yang kelima adalah TIRTA yang berarti air. Seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan siapapun termasuk pengikutnya (adaptif). Air selalu mengalir ke bawah, artinya pemimpin harus memperhatikan potensi, kebutuhan dan kepentingan pengikutnya, bukan mengikuti kebutuhan atasannya.

Brata yang keenam adalah MARUTA, yang berarti angin. Secara alami angin memiliki sifat menyejukkan, angin membuat segar bagi orang yang kepanasan. Angin sifatnya sangat lembut. Seorang pemimpin harus bisa membuat suasana kepemimpinan sejuk, harmonis, dan menyegarkan.

Brata yang ketujuh adalah DAHANA, yang berarti api. Secara alami, api memiliki sifat panas, dan dapat membakar. Seorang pemimpim memiliki sifat pembakar semangat, pengobar semangat, dan memiliki peran sebagai motivator dan inovator bagi pengikutnya.

Brata yang kedelapan adalah SAMODRA, yang berarti lautan atau samudra. Pemimpin harus memiliki wawasan yang luas dan dalam, seluas dan sedalam samudra. Samudra juga bersifat menampung seluruh air dan benda-benda yang mengalir kearah laut. Seorang pemimpin harus memiliki sifat menampung semua kebutuhan, kepentingan, dan isi hati dari pengikutnya, serta pemimpin harus bersifat aspiratif.

Dalam teori kepemimpinan yang lain ada beberapa filsafat lagi yang banyak dipakai, agar setiap pemimpin (Khususnya dari Jawa) memiliki sikap yang tenang dan wibawa agar masyarakatnya dapat hidup tenang dalam menjalankan aktifitasnya seperti falsafah: Ojo gumunan, ojo kagetan lan ojo dumeh.

Maksudnya, sebagai pemimpin janganlah terlalu terheran-heran (gumun) terhadap sesuatu yang baru (walau sebenarnya amat sangat heran), tidak menunjukkan sikap kaget jika ada hal-hal diluar dugaan dan tidak boleh sombong (dumeh) dan aji mumpung sewaktu menjadi seorang pemimpin.Intinya falsafah ini mengajarkan tentang menjaga sikap dan emosi bagi semua orang terutama seorang pemimpin.
(Eko Wahyu Budiyanto/CN37)

Untuk berita terbaru, ikuti kami di Twitter twitter dan Facebook Facebook

Puisi "ANGKARA" Karya Sita S.Priyadi

Image "Dewi Sita" (Foto: SP091257)
Dewi Sita
“Angkara”
Geram gelegar pertala usik marcapada
Saksikan prilaku dan ulah manusia
Yang tak lagi berunggah-ungguh kedepankan etika
Sana sini hanya umbar syahwat
Korupsi di segala lini terus menggeliat
Bergelimang nafsu angkara yang kian berkarat
Yang digugu dan ditiru lenyapkan rasa malu
Yang digdaya dan kuasa cengkeramkan kuku
Pancanakanya pun kian menghujam
Membenam semakin mendalam
Menusuk jantung merobek selimut social
Masyarakat kecil yang kian melemah bernasib sial
Gontai dan lunglai tiada berdaya
Ya, yang tak lagi punya daya dan upaya
Sita S.Priyadi
Pangarakan, 05 Oktober 2013
 
Blog Sita: "SASTRA NUSANTARA": Puisi "Angkara" Karya Sita S.Priyadi: Dewi Sita “Angkara” Geram gelegar pertala usik marcapada Saksikan prilaku dan ulah manusia Yang tak lagi berunggah-unggu...